NEW YORK - Tuntutan reformasi di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menguat dalam sidang umum ke-79. PBB dianggap telah gagal dan tidak leluasan bergerak karena kekuasaan dari lima negara yang menjadi pemenang di Perang Dunia Kedua.
Para pemimpin dunia mulai jengah dengan ketidakmampuan PBB dan lembaga global lainnya dalam menyelesaikan beragam konflik yang terjadi di dunia. Seperti invasi negara zionis ke Gaza, dan terbaru pecahnya perang udara antara Israel dan Hizbullah yang telah merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa.
Dalam banyak hal, keputusan PBB selalu disandera veto dari anggota tetap dewan keamanan PBB. Lima negara pemilik veto adalah Amerika Serikat, China, Perancis, Rusia dan Inggris Raya. Keputusan substantif PBB harus dibuat dengan “suara serentak dari anggota tetap”.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa PBB telah menjadi semakin tidak berfungsi dan tidak efektif dalam memenuhi misi pendiriannya. Menurut dia, perdamaian dan keamanan internasional terlalu penting untuk diserahkan kepada keinginan "lima negara istimewa". "Dunia lebih besar dari lima (negara)," kata Erdogan dikutip Anadolu Agency.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menekankan bahwa salah satu tujuan strategis KTT Masa Depan PBB adalah “tatanan dunia yang komprehensif” dan menyerukan tata kelola global yang lebih koheren dan efektif, termasuk reformasi Dewan Keamanan.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, menekankan bahwa reformasi adalah "keharusan" dalam organisasi global seperti PBB. "Keberhasilan umat manusia tidak terletak di medan perang, tetapi dalam kekuatan kolektifnya untuk perdamaian global," kata Modi.