"Kami tidak memiliki niat untuk ikut campur dalam urusan internal Suriah, tetapi kami jelas berniat untuk melakukan apa yang diperlukan untuk memastikan keamanan kami," kata Netanyahu sebagaimana yang dikutip dari ABC News.
Pada Senin (9/12/2024), juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengungkapkan argumen Israel terkait invasi ke Suriah. Ia menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Assad, tentara Suriah meninggalkan posisinya di sepanjang perbatasan Israel-Suriah, yang menurut Miller dapat menciptakan celah yang berpotensi diisi oleh kelompok teroris.
Miller menambahkan bahwa Israel menyatakan bahwa tindakan ini bersifat sementara dan bertujuan untuk melindungi perbatasannya. Namun, banyak yang meragukan klaim “sementara” tersebut, karena media Israel melaporkan bahwa pejabat militer menyatakan pasukan tersebut akan tetap berada di sana "untuk masa mendatang."
Netanyahu sendiri menegaskan bahwa Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah pada perang 1967 dan diduduki sejak itu, akan menjadi bagian dari Israel "selamanya." Israel mencaplok wilayah ini secara sepihak pada tahun 1981, yang kemudian dianggap tidak sah oleh Dewan Keamanan PBB melalui resolusi yang menyatakan aneksasi itu tidak berlaku menurut hukum internasional. Meski hampir seluruh dunia tidak mengakui klaim Israel atas Golan, pada 2019, Donald Trump mengakui aneksasi tersebut, sebuah keputusan yang hingga kini tidak dibatalkan oleh pemerintahan Biden.
Profesor Mehmet Ozalp dari Charles Sturt University mengatakan perkembangan saat ini di Suriah menguntungkan bagi Israel.
"Tetapi meskipun kondisinya sekarang lebih menguntungkan bagi Israel, mereka masih akan melihat kepemimpinan Suriah yang baru sebagai ancaman," ujar Ozalp.
"Dan akan ingin melemahkannya secara militer sebanyak mungkin,” lanjutnya.
Setelah Assad melarikan diri ke Moskow pada Minggu (8/12/2024), AS juga melancarkan serangan udara terhadap lebih dari 75 target yang dianggap sebagai kamp atau kelompok operatif ISIS di wilayah tengah Suriah. AS tidak ingin kekosongan kekuasaan setelah jatuhnya Assad dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk bangkit kembali. Selain itu, AS juga khawatir konflik ini akan memicu kembali gelombang pengungsi besar-besaran ke Eropa dan negara-negara tetangga.