Shaza Hamdan yang berusia tujuh tahun ingin belajar mengendarai sepeda, katanya.
"Ayah saya meminta (saya) untuk ikut jalan-jalan, sebelum peluru mulai berjatuhan menimpa kami seperti hujan. Satu peluru mengenai kaki saya dan memotongnya, dan yang lainnya mengenai lengan ayah saya," katanya.
Shaza menjalani operasi dua kali dan dokter harus melakukan amputasi lebih lanjut pada kaki yang terluka karena peradangan.
"Saya menjadi tergantung pada ibu saya. Dia melakukan segalanya untuk saya. Hidup saya lebih buruk dari sebelumnya. Sebelum saya terluka, saya bisa bermain," katanya.
Ayahnya, Karim Hamdan, mengatakan kesehatan mental Shaza memburuk saat dia menunggu untuk pergi ke luar negeri untuk berobat.
"Tidak ada anggota tubuh buatan di Gaza, dan satu-satunya solusi adalah berobat ke luar Gaza. Gadis itu menjadi tidak sabar, bertanya banyak hal, dan menangis setiap hari. Dia ingin merasa sedikit normal," katanya.
Ismail Mehr, seorang ahli anestesi dari negara bagian New York yang telah memimpin beberapa misi medis ke Gaza selama perang saat ini dan sebelumnya, mengatakan kurangnya perawatan yang memadai berarti lebih banyak anggota tubuh yang bisa hilang dan anggota tubuh yang sudah diamputasi akan semakin berkurang.
"Lebih dari 99% amputasi dilakukan dalam kondisi di bawah standar, bukan karena kesalahan dokter, kurangnya sterilisasi dan peralatan yang tepat, dan terkadang bahkan dilakukan oleh dokter yang biasanya tidak memiliki spesialisasi dalam prosedur tersebut," katanya.
(Erha Aprili Ramadhoni)