Menurut kantor berita Chosun Daily, warga negara China kini menjadi kelompok pemilik properti asing terbesar di Korea Selatan. Jumlah mereka melonjak dari 54.320 orang pada 2020 menjadi 96.955 pada April 2024—peningkatan sebesar 78,5 persen. Porsi mereka dalam kepemilikan asing juga naik, dari 35,3 persen menjadi 41,6 persen.
Fenomena serupa terjadi di AS, di mana kepemilikan lahan oleh entitas asing—terutama yang berasal dari China—telah memicu perdebatan politik dan keresahan publik.
Data dari Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa investor asing terus membeli lahan pertanian. Di Nebraska, lahan pertanian milik asing meningkat lima kali lipat dalam satu dekade, dari 153.000 hektare pada 2014 menjadi 936.000 hektare pada 2023. Sementara di Oklahoma, kenaikan hampir mencapai empat kali lipat, dari 371.000 menjadi 1,8 juta hektare.
Lebih dari separuh negara bagian di AS telah memperkenalkan undang-undang untuk membatasi atau melarang kepemilikan lahan oleh pihak asing. Sejumlah rancangan undang-undang federal juga ditujukan untuk menargetkan perusahaan yang memiliki hubungan dengan pemerintah China.
Menurut Investigate Midwest, perusahaan milik China kini menguasai lebih dari 277.000 hektare lahan pertanian AS—mayoritas dikuasai oleh korporasi seperti Syngenta Seeds, Smithfield Foods (perusahaan pengolah daging babi besar), dan sebuah perusahaan panel surya swasta.
Presiden Donald Trump dan Menteri Pertanian AS Brooke Rollins menyebut pembelian lahan oleh entitas China sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan kedaulatan ekonomi. Meski kepemilikan lahan oleh China hanya mencakup sekitar 1 persen dari total lahan asing, para ahli memperingatkan bahwa lokasi strategis dari lahan-lahan tersebut jauh lebih penting dibandingkan skala kepemilikannya.
Ironisnya, strategi akuisisi lahan oleh China tidak terbatas pada Korea Selatan dan AS.
Proyek Jalur Pipa Minyak dan Gas Myanmar–China senilai USD2,5 miliar—proyek investasi asing langsung (FDI) terbesar China di Myanmar—menjadi contoh lain. Dalam pelaksanaannya, perusahaan milik negara China seperti China National Petroleum Corporation (CNPC), South East Asia Oil Pipeline Co. Ltd. (SEAOP), dan South East Asia Gas Pipeline Co. Ltd. (SEAGP) diketahui telah mengakuisisi lahan secara ilegal, melanggar hukum pertanahan Myanmar.