Sementara itu, 58,3% responden mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, sebuah tanda tekanan psikologis domestik, khususnya pada sektor konsumsi dasar. “Ketika harga sembako memberatkan, angka-angka tak lagi sekadar statistik. Mereka menjadi detak jantung dari kecemasan kolektif,” tuturnya.
Adjie mengungkapkan, ada empat alasan utama mengapa tekanan ini muncul dalam fase awal pemerintahan, yakni:
1. Tahap Awal Implementasi
Banyak program unggulan—seperti Makan Bergizi Gratis, Hilirisasi, Danantara, dan Koperasi Merah Putih—masih dalam tahap uji coba. Dampak nyatanya belum dirasakan publik. Ini program besar yang manfaatnya akan terasa tapi memerlukan waktu lebih panjang.
2. Pertumbuhan Ekonomi di Bawah Target
Di kuartal ini, pertumbuhan ekonomi nasional tercatat di bawah 5%, terlalu lemah untuk menyerap tenaga kerja secara masif. Dalam politik ekonomi, angka 5% adalah garis batas antara harapan dan kekhawatiran.
3. Ekspektasi yang Terlampau Tinggi
Terpilihnya Prabowo dengan dukungan besar memantik harapan rakyat yang menjulang. Namun, teori psikologi politik mengingatkan: semakin tinggi harapan, semakin keras bunyi kecewa saat realitas belum menyusul.
4. Gelombang PHK Masif
Hanya dalam dua bulan pertama tahun ini (1 Januari – 10 Maret), 73.992 kasus PHK tercatat oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia. Di balik angka itu ada cerita anak putus sekolah, cicilan rumah macet, dan warung yang tak jadi buka.
PHK tak hanya melanda buruh, industri hotel dan restoran, tapi juga pekerja intelektual seperti wartawan.