Alasan empat izin perusahaan itu dicabut diantaranya karena ditemukan adanya pelanggaran, beroperasi di kawasan yang harus dilindungi di wilayah konservasi. Kemudian dari sisi lingkungan, IUP milik empat perusahaan itu juga sebagian masuk ke kawasan geopark.
Terkait hal ini, Evita menyoroti pengawasan Pemerintah terkait izin terbit terhadap aktivitas tambang di kawasan pulau-pulau kecil di Raja Ampat, seperti di Pulau Kawe hingga Pulau Manuran. Ia menilai, seharusnya agenda hilirisasi mineral harus tetap mempertimbangkan kerusakan permanen terhadap aset strategis yang jauh lebih berkelanjutan secara ekonomi dan sosial.
“Kan jadinya justru ironi, Indonesia jualan hilirisasi di forum-forum internasional, tapi di lapangan, kita justru menambang di tempat yang mestinya kita jaga mati-matian. Ini bukan cuma kelalaian, tapi menjadi langkah yang tidak tepat,” ucapnya.
Berdasarkan laporan Greenpeace, eksploitasi nikel di tiga pulau kecil di Raja Ampat telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas Raja Ampat. Menurut Evita, tambang-tambang nikel itu justru menghancurkan masa depan pariwisata berkelas dunia yang sudah terbukti memberikan dampak langsung kepada ekonomi rakyat.
“Raja Ampat itu bukan cuma kebanggaan Papua, tapi brand internasional yang jauh lebih bernilai dari sekadar ekspor feronikel. Bukan soal sentimental, ini soal nilai ekonomi jangka panjang,” tegasnya.
Evita pun mengkritik pendekatan Pemerintah yang cenderung memaksakan industrialisasi berbasis tambang tanpa perhitungan ekosistem. Ia menilai, Pemerintah lupa wisata Raja Ampat menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2020 lalu, dengan nilai mencapai Rp 7 miliar.
"Kalau kita ukur jujur, berapa banyak devisa yang masuk dari retribusi wisata, homestay lokal, dan kunjungan turis asing? Bahkan di tengah pandemi sekalipun, sektor ini masih menyumbang Rp 7 miliar lebih ke PAD,” ungkap Evita.