Menurutnya, hal-hal tersebut menjadi dasar kuat penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
“Kita tidak akan punya pembatasan masa jabatan presiden dua kali kalau tidak ada perubahan UUD. Soeharto menjabat tujuh kali di bawah UUD yang lama,” jelasnya.
“Bayangkan, jika legitimasi perubahan UUD 1945 itu hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini akan menjadi jalan mulus tanpa kerikil untuk kembali ke UUD 1945 naskah awal,” tambah Bivitri.
Sementara itu, Romo Frans Magnis-Suseno, seorang tokoh agama dan filsuf, juga menyatakan penolakannya terhadap rencana pemberian gelar tersebut. Ia menilai, pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa kepemimpinan Soeharto meninggalkan luka sejarah yang mendalam bagi bangsa Indonesia.
“Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas salah satu dari lima genosida terbesar umat manusia pada paruh kedua abad ke-20, yakni pembunuhan massal pasca peristiwa 1965–1966. Antara 800 ribu hingga, menurut Sarwo Edhie yang sangat aktif saat itu, mencapai tiga juta orang terbunuh. Mengerikan sekali,” ungkap Romo Frans.
Dalam surat terbuka YLBHI kepada Presiden Prabowo, ditegaskan bahwa rekam jejak masa Orde Baru dan pelanggaran HAM berat menjadi alasan utama mengapa Soeharto dinilai tidak memenuhi standar moral maupun nilai-nilai kepahlawanan nasional.
(Awaludin)