Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Revisi UU Pemilu Mendesak di Era Prabowo-Gibran, Adopsi Sistem MMP Solusi Politik Berbiaya Tinggi

Opini , Jurnalis-Jum'at, 07 November 2025 |10:17 WIB
Revisi UU Pemilu Mendesak di Era Prabowo-Gibran, Adopsi Sistem MMP Solusi Politik Berbiaya Tinggi
Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Foto: Dok Okezone)
A
A
A

REVISI Undang-Undang Pemilu (RUU Politik) pada tahun 2026 mendatang harus menjadi prioritas strategis dalam satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Di tengah ambisi besar membangun ekonomi nasional dan memperkuat fondasi pemerintahan, pembenahan sistem politik merupakan syarat mutlak agar program-program strategis tidak tersandera oleh biaya politik yang tinggi dan ketidakefisienan struktural. 

Sistem politik Indonesia saat ini tengah mengalami tekanan akut akibat praktik politik transaksional yang kian sistemik, memaksa setiap kontestasi politik menjadi ajang kompetisi finansial tanpa batas. 

Dalam situasi demikian, revisi UU Pemilu tidak hanya menjadi kebutuhan administratif, tetapi juga langkah penyelamatan terhadap masa depan demokrasi dan stabilitas fiskal negara.

Fenomena politik berbiaya tinggi adalah produk langsung dari sistem proporsional terbuka yang selama dua dekade terakhir membentuk budaya politik transaksional “beli putus”. Dalam sistem ini, calon legislatif dari satu partai saling bersaing di daerah pemilihan yang sama, mendorong mereka menghabiskan dana miliaran rupiah demi popularitas individu. 

Akibatnya, orientasi politik bergeser dari representasi publik menjadi survival personal. Begitu terpilih, mereka merasa berhak “mengembalikan modal” melalui proyek, jabatan, atau transaksi kebijakan. 

Pola ini menciptakan siklus politik yang mahal, tidak efisien, dan rentan korupsi. Di sinilah urgensi pembaruan sistem menjadi tak terelakkan. Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu memimpin transformasi struktural dengan keberanian politik untuk mengubah arsitektur pemilu dari dasar.

Salah satu solusi konseptual yang realistis adalah mengadopsi model Mixed Member Proportional (MMP)—sistem campuran yang telah terbukti berhasil di Selandia Baru dan beberapa negara maju lain. Dalam sistem ini, setiap pemilih memiliki dua suara: satu untuk partai politik dan satu untuk calon/kader populer. Hal ini akan menghasilkan efisiensi tata kelola pemilu dari segi logistik surat suara dan penghitungan suara, termasuk proses penghitungan suara. 

Formula ini mengombinasikan kekuatan sistem proporsional tertutup—yang memperkuat partai politik dan kaderisasi internal—dengan sistem pluralitas mayoritas berwakil tunggal atau distrik yang menjaga akuntabilitas langsung antara wakil rakyat dan pemilihnya. Implementasi sistem MMP akan mengakhiri fragmentasi politik yang tidak produktif, memperkuat loyalitas kader terhadap partai, dan menekan biaya kampanye yang selama ini menguras sumber daya calon maupun negara.

Namun, reformasi pemilu tidak boleh berhenti pada desain sistem semata. Revisi UU Pemilu perlu menyentuh tiga dimensi struktural yang selama ini menjadi sumber kelemahan politik Indonesia: aktor, manajemen, dan keadilan pemilu. Pertama, dari sisi aktor politik, partai harus diperkuat secara institusional. Peninjauan ulang ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) penting dilakukan untuk mengakomodir dan menghargai suara rakyat secara proporsional dan hal ini semakin mengurangi disproporsionalitas atau suara yg terbuang. 

Kedua, dari sisi manajemen pemilu, RUU Pemilu harus berani menjadi pemilu menggunakan basis digital dan penguatan peran dan fungsi penyelenggara pemilu yang semakin berintegritas, profesional dan kuat. 

Ketiga, dari sisi keadilan pemilu, reformasi harus dirancang untuk memberantas politik uang dan premanisme yang selama ini menjadi wajah kelam demokrasi lokal. Praktik ini muncul karena sistem politik yang terlalu terbuka dan tidak terinstitusionalisasi, di mana keberhasilan kampanye ditentukan oleh uang tunai dan kelompok koersif. 

Sistem MMP memberi ruang bagi partai untuk kembali menjadi tulang punggung demokrasi. Dengan struktur kaderisasi yang permanen dan organisasi yang teratur, partai akan memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk mengendalikan seluruh aktivitas kampanye dan perekrutan politik, menggantikan peran tim ad hoc yang rawan pelanggaran etika dan kriminalitas. Selain itu, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu perlu diperkuat dengan sanksi tegas, bukan sekadar administratif, melainkan pidana yang bisa memberikan efek jera.

Kegagalan untuk segera merevisi UU Pemilu berarti membiarkan sistem lama terus menimbulkan ongkos sosial dan ekonomi yang tinggi. Jika reformasi struktural tidak dilakukan, maka Pemilu 2029 berpotensi mengulang pola yang sama: politik uang masif, fragmentasi koalisi ekstrem, serta instabilitas pasca-pemilihan. Kondisi ini akan menekan kemampuan fiskal negara dan menghambat realisasi program-program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, termasuk Makan Bergizi Gratis dan pemerataan pembangunan nasional. 

Dalam konteks inilah, revisi UU Pemilu harus dipandang bukan sekadar agenda teknis, melainkan fondasi dari visi besar Prabowo-Gibran untuk membangun Indonesia yang kuat, efisien, dan berdaulat secara politik maupun ekonomi.

Reformasi politik membutuhkan keberanian, bukan kompromi. Sejarah menunjukkan bahwa sistem politik yang dibiarkan berjalan di atas fondasi rapuh akan selalu melahirkan ketidakpastian ekonomi, korupsi, dan stagnasi pembangunan. Pemerintah saat ini memiliki mandat dan momentum untuk mengubah arah sejarah itu. Dengan mengadopsi sistem campuran MMP yang teruji dan melaksanakan tiga pilar reformasi struktural—penguatan partai, efisiensi birokrasi politik, serta pemberantasan transaksionalitas—Indonesia dapat keluar dari perangkap demokrasi mahal menuju tatanan politik yang lebih adil, rasional, dan produktif. 

Reformasi pemilu bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa demokrasi benar-benar adil dan setara serta bekerja bagi rakyat, bukan bagi segelintir elite yang mampu membeli kekuasaan.

Oleh: Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah (pengajar dan aktivis demokrasi & kepemiluan)

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement