JAKARTA - Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah Sumatera merupakan dampak dari siklon tropis luar biasa yang membawa hujan ekstrem dalam waktu singkat. Curah hujan (CH) selama kejadian siklon mencapai 400 mm dalam 1–3 hari, jumlah yang jauh melampaui rata-rata bulanan.
“Curah hujan sebulan biasanya 150–200 mm. Ketika 400 mm turun hanya dalam beberapa hari, tanah tidak mungkin mampu meresapkan air, sehingga terjadi aliran permukaan yang massif,” kata Pakar ilmu tanah dari IPB University, Basuki Sumawinata, Selasa (9/12/2025).
Berdasarkan hasil pemantauan satelit, awan hujan akibat siklon tersebut memiliki cakupan 200–300 km, meliputi pegunungan, perbukitan, hingga dataran rendah.
‘’Jadi bisa dibayangkan areal yang begitu luas menyangkut gunung dan perbukitan, air permukaannya mengalir dan berkumpul di pelembahan tentu akan menyebabkan aliran yang deras dan menyebabkan banjir dan longsor. Banjir menjadi semakin parah ketika mendekati daerah yang relatif datar terutama semakin dekat ke pantai,’’ ungkapnya.
Ia memberikan gambaran: 400 mm hujan setara 4.000 m³ air per hektare. “Dengan cakupan dari Aceh sampai Sumatera Barat, banjir pasti terjadi. Tidak ada sistem lahan yang mampu menangani volume sebesar itu,” tegasnya.
Meskipun infiltrasi hutan lebih baik daripada kebun sawit, namun tidak ada sistem lahan yang bisa menahan 400 mm hujan per hari.
“Pada hutan primer pun akan terjadi run off besar ketika hujan ekstrem turun di lereng yang lebih curam. Bahkan erosi dan longsor lebih mungkin terjadi di hutan alami yang berada di topografi curam,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Indonesia belum familier dengan fenomena siklon tropis, karena kejadian serupa jarang terjadi di wilayah Indonesia, terutama di lintang kurang dari 5 derajat.
“Negara seperti Jepang, Taiwan, dan Vietnam Utara sudah terbiasa menghadapi taifun sehingga sistem mitigasinya matang. Untuk Indonesia, ini kejadian luar biasa. Jadi untuk menghindari dampak siklon tropis adalah tidak ada lain adalah prediksi dan mengungsi,” jelasnya.
Basuki menegaskan bahwa kebun sawit tidak dibangun di lereng curam. Lereng yang digunakan hanya sampai sekitar 15–20%. Di atas itu, sawit memang bisa tumbuh, tetapi tidak ekonomis untuk dikelola.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa tidak logis mengaitkan sawit dengan longsor di daerah lereng. Selain itu, praktik budidaya sawit modern banyak dipantau melalui berbagai sistem sertifikasi untuk menjaga kepatuhan terhadap standar lingkungan.
Selain itu, berdasarkan data historis, perkebunan sawit modern umumnya tumbuh di eks kebun karet rakyat, belukar, atau wilayah bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), bukan dibuka dari hutan primer. Menurutnya, sejumlah stigma yang sering diarahkan kepada sawit umumnya tidak berlandas pada data ilmiah.
“Mulai dari sawit boros air, sawit penyebab banjir, dan lain-lain. Banyak sekali mispersepsi,” ujar Basuki.
Dari sisi lingkungan, sawit tetap memiliki fungsi ekologis lebih baik dibanding tanah terbuka atau belukar. Dengan laju fotosintesis tinggi, sawit berpotensi menjadi carbon sink yang efektif.
“Penyerapan karbon kebun sawit jauh lebih tinggi dibanding hutan primer,” katanya. Meski demikian, ia mengakui risiko sawit sebagai monokultur, seperti rendahnya keanekaragaman hayati dan potensi penyakit, tetap perlu dikelola secara baik.
Basuki juga sependapat dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa sawit dapat menjadi solusi krisis energi global.
“Tidak ada tanaman lain yang mampu menghasilkan 3 ton minyak per hektar, bahkan potensi maksimumnya bisa 6–7 ton,” katanya.
Dia melanjutkan, agar manfaat ekonomi sawit tetap besar namun ramah lingkungan, pengelolaannya harus dimulai dari penentuan lahan yang tepat, hanya di APL (areal penggunaan lain), bukan di kawasan hutan.
Selain itu diperlukan pemilihan bibit unggul, teknik pemeliharaan yang baik, pengendalian erosi, penggunaan pupuk ramah lingkungan, serta pengelolaan limbah yang benar.
“Berapa juta orang yang hidup dari sawit? Dampaknya sangat besar. Selain itu, program seperti biodiesel B40 yang didukung Dana BPDP memberikan manfaat luas bagi rakyat melalui distribusi biosolar,’’ pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan Indonesia memiliki anugerah besar berupa kelapa sawit yang berlimpah. Sawit memiliki potensi sebagai sumber Bahan Bakar Minyak (BBM) apabila terjadi krisis energi dunia.
’’Kondisi dunia tidak sedang baik-baik, dimana-mana ada perang. Jika terjadi perang berlanjut di Eropa, dampaknya ke kita. Maka dari awal saya katakan bahwa kita harus swasembada pangan, swasembada energi,’’ kata Prabowo saat menghadiri puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Jakarta.
(Fahmi Firdaus )