DUKA tiada tara ditelan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU), tak lama setelah euforia sempat melanda berkat keberhasilan operasi pertama, pemboman Semarang, Salatiga dan Ambarawa pada 29 Juli 1947.
Betapa tidak? Tak sampai sehari kabar operasi pertama AURI dengan tiga pesawat tua peninggalan Jepang itu sukses, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Soerjadi Soerjadarma serta sejumlah kadet AURI lainnya, melihat dengan mata kepala sendiri ketika pesawat angkut Dakota VT-CLA yang membawa sejumlah perwira AURI, ditembak dua pesawat pemburu Belanda.
Tiga perwira itu bukan sekadar perwira AURI biasa, melainkan tiga dari sejumlah perintis AURI di masa revolusi, yakni Komodor Udara Abdulrachman Saleh, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, serta Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Saat hampir mendarat di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta, pesawat yang dipiloti warga Australia, Alexander Constantine ditemani Kopilot asal Inggris, Roy Hazlehurst, ditembaki dua pesawat pemburu Belanda, P40D Kittihawk, tepatnya di Desa Ngoto, Bantul.
Padahal pesawat itu dalam misi berpulang dari misi kemanusiaan ke India, Pakistan dan Singapura dengan membawa sejumlah sumbangan obat-obatan. Gugurnya tiga perintis AURI itu di kemudian hari, selalu diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU setiap tanggal 29 Juli.