JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan monitoring terhadap kajian investigasi prakarsa sendiri mengenai dugaan maladministrasi Satpol PP dalam penataan dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di DKI Jakarta.
Monitoring dilakukan setelah 14 hari pasca penyerahan saran hasil investigasi di 7 titik lokasi ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Lokasi itu yakni Pasar Tanah Abang, Stasiun Tebet, Setia Budi, menara Imperium, Kawasan Jatinegara, Setiabudi, Perbanas, dan Kawasan Stasiun Manggarai.
Berdasarkan hasil monitoring pada 15-17 November 2017, ditemukan fakta bahwa belum ada langkah nyata perbaikan oleh Pemprov DKI sesuai saran Ombudsman, sebab oknum masih merajalela.
"Penataan PKL rawan praktik maladministrasi penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan pembiaran baik yang dilakukan oknum Satpol PP, maupun oknum di kelurahan dan kecamatan setempat," kata Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (24/11/2017).
[Baca Juga: Nah! Ombudsman RI Ungkap Dugaan Kongkalikong Pungli Antara Satpol PP, Ormas dan PKL di Ibu Kota]
Adrianus melanjutkan, dalam hal ini, potensi maladministrasi tersebut juga berimbas pada tidak optimalnya peran Satpol PP sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda) dan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda).
Selain itu, pengawasan dan koordinasi di lingkungan Pemprov DKI dalam penertiban PKL dirasa belum optimal. Penertiban selama ini terkesan tidak efektif karena fenomena PKL berjualan pada tempat yang bukan peruntukannya masih saja terjadi.
"Dalam setiap rencana penertiban ada saja oknum aparatur yang melakukan komunikasi dengan pihak PKL untuk mengamankan diri, tidak berjualan terlebih dahulu," tutur Adrianus.
Menurut kajian Ombudsman, tidak optimalnya penertiban dan penataan PKL didorong oleh perilaku oknum Satpol PP sehingga terjadi ruang transaksional dan perbuatan maladministrasi yang merugikan PKL itu sendiri.
"Praktik maladninistrasi tersebut sebenarnya merugikan PKL, juga masyarakat selaku pengguna trotoar maupun fasilitas umum lainnya," ujar Mantan Komisioner Kompolnas ini.
Dalam ekspos hasil monitoring, Ombudsman juga memutar video rekaman hasil investigasi, di mana diduga oknum Satpol PP tengah terlihat melakukan hubungan transaksional dengan PKL agar lapaknya tetap "aman."
Massif dan terstrukturnya dugaan maladministrasi perkara ini tercermin dalam mata rantai sebagai berikut: Oknum Satpol PP - preman - PKL. Dalam hal ini preman disebut menjadi perantara dalam hubungan transaksional antara petugas dengan PKL untuk mengamankan lapak dagangannya.
"Jangan dibuka lah (jaringan preman yang menjadi perantara antara pedagang dengan Satpol PP). Kami fokusnya pada Satpol PP agar mereka bekerja, tapi datanya ada semua," ungkap Adrianus.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa di antara beberapa Satpol PP ternyata sudah saling kenal dengan beberapa PKL. Mereka disebut memiliki kedekatan.
"Mereka punya kedekatan, tapi ini bukan soal kedekatannya, tetapi memang sudah ada transaksi," jelasnya. Setoran keamanan yang mesti dikeluarkan PKL kepada Satpol PP melalui perantara preman nilainya beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan.
Karena itu, terhadap hasil monitoring ini, Ombudsman memberi saran kepada Pemprov DKI untuk melakukan review serta penataan sistem pengawasan kinerja Satpol PP guna mendorong efektivitas pengawasan secara berjenjang sehingga terdapat kontrol antara tugas di lapangan dengan bahan evaluasi oleh atasan Satpol PP dan Pengawasan Internal
Selain itu, Ombudsman menyarankan Pemprov melakukan penataan ruang sesuai peraturan serta meningkatkan koordinasi di internal dengan tujuan melakukan penataan dan penertiban PKL, khususnya pada lokasi binaan dan lokasi sementara.
"Memerintahkan Inspektorat Pemerintah DKI Jakarta untuk mendalami lebih lanjut terhadap temuan Ombudsman RI ini agar selanjutnya dilakukan penegakan disiplin sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS," tegas Adrianus.
(Abu Sahma Pane)