JAKARTA - Erupsi Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda Sabtu 22 Desember 2018 juga menyapu sebagian kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Kabupaten Pandeglang, Banten.
Dua orang petugas taman nasional termasuk korban meninggal. Mereka terbawa arus sementara sejumlah bangunan kantor dan kapal milik TNUK juga hancur diterjang tsunami.
Meski demikian, gelombang tersebut tak menyeret serta badak Jawa yang terancam punah, yang saat ini hanya tinggal 67 ekor.
Baca juga: Tampak dari Citra Satelit, Gunung Anak Krakatau Longsor Seluas 64 Hektare!
"Badak ini kami yakini dalam keadaan aman, karena ini ombak datang dari pantai utara, sementara di pantai utara ini keberadaan badak yang sering main ke pantai tidak terlalu banyak," ungkap Mamat Rahmat, kepala Taman Nasional Ujung Kulon, kepada wartawan, Rivan Dwiastono.
"Mereka lebih banyak main di pantai selatan, daerah konsentrasinya di pantai selatan."
Menurut Mamat, selain merusak bangunan dan sejumlah peralatan milik taman nasional, tsunami "hanya" meratakan vegetasi hingga 100 meter dari bibir pantai di Citelang, Jamang, dan Tanjung Alang-alang.
Baca juga: Trauma Lihat Mayat Bergelimpangan, Korban Tsunami Ini Pilih Bertahan di Bukit
"Memang vegetasinya rusak ya, tapi kalau satwa biasanya ketika ada gemuruh dia akan langsung melarikan diri, (mencari tempat yang) lebih aman ke dalam (hutan). Jadi saya yakini badak aman," ujarnya.
Penyisiran pantai, diakuinya, telah dilakukan untuk memastikan tak ada badak Jawa yang jadi korban. Namun, ia belum dapat mengambil video dari kamera-kamera yang terpasang di sejumlah titik di pesisir pantai untuk memastikan keberadaan badak-badak tersebut kini.
Habitat kedua untuk hindari ancaman Anak Krakatau
Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau mulai meningkat sejak Juni 2018 lalu. Erupsi pun terjadi secara berkala hingga akhirnya menyebabkan tsunami akhir pekan lalu.
Ancaman Anak Krakatau terhadap pelestarian badak Jawa alias badak bercula satu sebenarnya sudah dibahas para aktivis lingkungan dan pemerintah sejak lama, terutama sejak pucuk gunung tersebut menyembul dari permukaan laut tahun 2013 lalu.
Baca juga: Jembatan Antardesa di Lebak Ambrol Diterjang Longsor
"Sejak dulu sudah direncanakan dalam strategi rencana aksi konservasi badak Indonesia. Salah satu masukan adalah pemindahan beberapa ekor badak ke lokasi yang lebih aman," tutur Ridwan Setiawan, staf pemantauan badak WWF Indonesia, kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/12).
Lokasi yang dimaksud Ridwan adalah habitat kedua bagi badak Jawa. Para pakar khawatir bila Anak Krakatau meletus keras atau menyebabkan gelombang tsunami ke wilayah Ujung Kulon, populasi badak Jawa akan musnah.
"Kita paham bahwa kita tidak bisa menempatkan semuanya populasi badak Jawa hanya di Ujung Kulon saja," kata Widodo Sukohadi Ramono, ketua Yayasan Badak Indonesia (YABI), secara terpisah kepada BBC.
Menurutnya, banyak pertimbangan yang harus dilakukan sebelum pemindahan sebagian badak ke habitat kedua dilakukan. Di antaranya adalah pemilihan induk badak yang harus dalam kondisi sehat, memiliki kekerabatan yang paling jauh dengan sesamanya, dan tentu, mampu bereproduksi.
Selain itu, kriteria lokasi yang cocok sebagai habitat badak Jawa juga harus terpenuhi.
Baca juga: Begini Cara Polwan Pulihkan Trauma Anak-Anak Korban Tsunami Banten
"Pertama, pakan alaminya itu ada. Untuk badak Jawa, spesies tumbuhan yang dimakan itu lebih dari 200 spesies," jelas Widodo. "Dia juga harus ada air. Air untuk minum, air untuk kehidupannya. Badak harus berkubang, harus mandi, mungkin sekitar 60% kehidupan hariannya itu berasosiasi dengan air."
Beberapa faktor lain, seperti jenis tanah, kondisi lahan, hingga iklim, juga menjadi pertimbangan.
"Badak memerlukan kondisi iklim yang selalu basah sepanjang tahun," imbuhnya.