Rizki Terus Mencari
Telunjuknya merambati kertas yang tertempel di jendela Kamar Jenazah RSUD Berkah, Pandeglang, Banten, yang sejak Minggu 23 Desember 2018 dijadikan Pos DVI (Disaster Victim Identification). Nama yang ia cari tak ada dalam daftar jenazah yang sudah teridentifikasi di sana.
Ia mengulanginya lagi, menelusuri kolom demi kolom nama korban di kertas itu. "Enggak ada, Mas," ujarnya lirih.
Rizki Hartadi mencari kakak iparnya, TB Fikri Fakhrurrozi, yang hilang sejak tsunami menerjang. Saat kejadian, sang kakak tengah berkemah dengan tujuh orang temannya di Pulau Oar, Pandeglang. Mereka berada di sana sejak Sabtu 22 Desember siang.
"Kita belum dapat kabar, entah itu tersapu ke (daratan pulau) Jawa, atau tersapu ke mana," ujar Rizki kepada Rivan Dwiastono dari BBC News Indonesia, Senin 24 Desember malam.
Rizki menyadari bahwa sang kakak ipar mungkin menjadi korban tsunami setelah melihat unggahan foto pada Facebook sebuah komunitas di Pandeglang yang memperlihatkan salah satu dari tujuh teman kakaknya.
Ia dan saudara-saudaranya yang lain lantas mulai mencari keberadaan Fikri ke sejumlah tempat sejak Minggu siang.
Seperti Rizki, di tempat yang sama ada Subhan juga mencari keberadaan kakaknya, Anwar, yang sejak tsunami menghantam tak bisa dihubungi. "Iya, (dia) lagi melaut gitu (saat tsunami terjadi)," ujarnya.
Hari Minggu lalu, ia mendatangi rumah sang kakak yang berada di kawasan Carita, Pandeglang. Tapi, pemandangan yang tersaji di depannya di luar dugaan.
"Rumah sudah hancur, karena letaknya di pinggir (pantai)," ungkap Subhan.
Badarudin: Saya Sudah Tua, Tak Mau Ambil Risiko
Badarudin, warga Pulau Sebesi yang sudah bermalam-malam di pengungsian di GOR Kalianda Lampung Selatan, berkisah tak punya pilihan lain selain mengungsi, kendati merasa berat meningalkan rumahnya di pulau yang ia tinggali sejak 1969.
"Baru kali ini gunung itu (meletus) kencang. Biasanya asapnya tipis-tipis, ini kok tebal. Saya yang tua ini tidak mau ambil risiko, dan harus mau mengungsi," ujar Badarudin.
Ia mengatakan, banyak orang di Sebesi yang memilih tinggal, karena merasa punya kemampuan menyelamatkan diri, kalau-kalau terjadi apa-apa lagi dengan Gunung Anak Krakatau yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pulaunya.
Keluarganya sendiri bahkan awalnya tidak mau pergi dari pulau itu, namun ia bersikeras untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
"Sempat debat sama keluarga. Mereka masih merasa aman, karena bisa lari ke bukit. Tapi saya yang renta ini tak bisa lari jauh-jauh di pulau itu: mau lari ke mana lagi?" kata Badarudin.
Hujan abu yang menyelimuti Pulau Sebesi, membuat mata Badarudin terluka. Di pengungsian ia sempat mendapatkan perawatan dari tim medis.