Banjir Sulawesi Selatan: Terparah dalam 10 Tahun Terakhir

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Kamis 24 Januari 2019 06:49 WIB
Banjir dan longsor di Sulawesi Selatan. (Foto: Ist)
Share :

BADAN Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan menyatakan mereka berupaya mengevakuasi warga yang terdampak banjir dan longsor di 10 kota dan kabupaten yang sejauh ini menyebabkan 9 orang meninggal dan 6 hilang.

Tujuh korban tewas merupakan warga Kabupaten Gowa, sementara 2 lainnya dari Kabupaten Jeneponto. Sementara itu, lebih dari 3.000 orang mengungsi.

"Ada beberapa yang hilang karena longsor, dan (ada juga yang) terseret sama arus (banjir)," ungkap Hasriadi dari Pusat Pengendalian Operasi BPBD Sulsel kepada BBC News Indonesia, Rabu 23 Januari 2019.

Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Jeneponto menjadi tiga wilayah terdampak paling parah akibat banjir tersebut. BPBD, Tim SAR, TNI/Polri, PMI, hingga Tagana langsung terjun untuk mengevakuasi warga dari lokasi.

Status tanggap darurat pun masih akan diberlakukan hingga 14 hari ke depan. Namun, status tersebut dapat diperpanjang menyesuaikan situasi di lapangan.

Terparah dalam 10 Tahun Terakhir

Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Devo Khaddafi, banjir dan longsor tahun ini menjadi bencana terbesar yang dialami Sulsel selama satu dekade terakhir.

"Ini pasti salah satu yang terburuk yang pernah terjadi di Sulsel," ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

"Skala luas area yang terdampak pada bencananya yang paling luas, karena sekarang saja sudah 10 kabupaten yang terkena bencana. Kalau dulu kayaknya enggak sampai sebanyak ini," tutur Devo melaui sambungan telepon.

Hujan lebat mulai mengguyur Sulawesi Selatan sejak Senin 21 Januari. Dengan intensitas yang lebat dan tanpa henti, hujan menyebabkan volume Bendungan Bili-bili di Kabupaten Gowa meningkat hingga level waspada.

"Kemarin itu ketinggiannya sampai +101,9 (meter), sudah di tingkat waspada," kata Devo.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat cuaca yang cukup ekstrem terjadi sepanjang Senin 21 Januari hingga Selasa 22 Januari di pesisir barat Sulawesi Selatan.

"Di Maros (curah hujannya mencapai) 133 milimeter, terus di Hasanuddin juga (mencapai) 197 milimeter, nah ini memang sangat-sangat ekstrem (kondisi) seperti itu," tutur Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG Taufan Maulana kepada BBC.

Curah hujan yang tinggi di kawasan tersebut diakibatkan oleh adanya daerah bertekanan rendah di sekitar Laut Timor. Selain itu, kelembaban yang tinggi disertai labilnya udara membuat pertumbuhan awan hujan sangat signifikan di sana.

Melihat ancaman jebolnya Bendungan Bili-bili jika hujan terus terjadi, maka pemerintah setempat, setelah berdiskusi dengan sejumlah instansi terkait, memutuskan untuk membuka pintu bendungan.

"Tanggal 22 (Januari) sore itu diambil keputusan untuk membuka spillway dari Bendungan Bili-bili agar ketinggian air yang ada di bendungan Bili-bili ini turun ke level normal lagi," ujar Devo.

Namun ternyata pembukaan pintu bendungan berdampak pada meningkatnya volume Sungai Jeneberang yang kemudian meluap dan mengakibatkan banjir ke pemukiman di daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Kabupaten Gowa.

"Pihak balai dan pengelola dari Bendungan Bili-bili itu segera melakukan early warning system, di mana itu memberikan pengumuman kepada masyarakat untuk lebih waspada dan untuk mulai melakukan pengungsian," jelas Devo.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya