Menakar janji Taliban mengubah kebijakan
Taliban merebut ibukota Afghanistan, Kabul pada Minggu (15/08), 20 tahun setelah mereka digulingkan Amerika serikat dan sekutunya dari kekuasaan.
Dua hari setelahnya, Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyatakan akan membentuk pemerintahan "Islamis yang kuat" dan memberikan amnesti kepada mereka yang pernah bekerja dengan pihak asing.
Nostalgiawan mengklaim pemerintahan baru kemungkinan akan berbeda dari masa kepemimpinan 1996-2001, yang terkenal dengan hukuman di muka umum, termasuk rajam dan pembatasan ketat terhadap perempuan.
Mujahid juga menjanjikan perempuan akan menikmati hak sesuai syariah, sementara media swasta bisa bertugas secara bebas dan independen.
Mengamati itu, Nostalgiawan mengaku tak terlalu optimistis akan perubahan Taliban. Meski upaya-upaya mereka untuk membuka diri dan berdialog menurutnya patut diapresiasi.
Konferensi pers Taliban itu tutur Nostalgiawan, boleh jadi menjadi upaya mereka untuk mendapatkan simpati politik. "Tapi bisa jadi juga sebagai upaya mekanisme pembelajaran yang mereka lakukan, bagaimana kegagalan mereka menguasai Afghanistan yang sebelumnya ya."
Ia menerangkan, puluhan tahun silam Taliban pernah tersudut di titik terendah di mana langkah politik mereka malah berujung pada konflik berdarah, kehilangan akses kekuasaan, terusir dari pusat pemerintahan dan, tak mendapatkan dukungan dari warganya sendiri.
"Jadi dengan mengambil posisi yang tidak terlalu kontra mungkin banyak yang bisa kita kerjasamakan, tidak ada masalah," tutur Nostalgiawan.
"Kalau pengelolaan negaranya sama dengan Taliban yang sebelumnya, kita juga tidak dalam posisi yang telanjur nyemplung mengatakan mendukung kan. Kita bisa menghindar untuk tidak ikut campur kan," imbuhnya.
Alih-alih memilih sikap ekstrem dengan mengakui pemerintahan baru Taliban atau menolaknya, Nostalgiawan justru melihat peluang Indonesia bisa mengambil pendekatan dialog dan mendamaikan, bertolok pada sejarah perdamaian yang pernah dikerjakan negara ini.
Ia pun menyinggung soal mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sempat mengundang perwakilan Taliban. Menurut dia, saat itu Taliban menunjukkan respons positif.
"Upaya-upaya ketika Taliban ke Indonesia dan melakukan dialog dan bertukar pikiran itu termasuk salah satu tanda dalam human relationship, baik itu secara politik ataupun sosial itu berarti kan mereka masih bisa berdialog," papar Nostalgiawan.
"Alangkah baiknya jika posisi Indonesia masih sama. ... Di posisi mendamaikan. Itu kalau dalam pendekatan luar negeri dan diplomasi jauh lebih baik dibandingkan kita langsung secara gegabah masuk ke salah satu pihak yang sebetulnya kita tidak perlu," kata dia meyakinkan.
Jika sudah begitu, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia menurut Nostalgiawan, bisa menjadi contoh karena menempuh pendekatan yang berbeda.
"Kalau dibilang mau kontra, kita juga pernah mengundang Taliban untuk dialog. Mereka juga mengatakan, Indonesia lebih nyaman karena lebih menghargai, itu kan tandanya mereka bisa menilai kan bagaimana Indonesia bisa memberikan contoh," jelasnya.
"Kalau mau jadi pendukung juga, apa keuntungannya buat kita?" ujarnya.
(Susi Susanti)