Todd menambahkan bahwa metode yang digunakan untuk melawan burung pipit tidak cukup presisi sehingga mereka tidak hanya mempengaruhi spesies ini.
"Begitu banyak orang menghancurkan sarang dan membunuh anak-anak burung, dan di kota-kota seperti Beijing orang-orang membuat banyak suara untuk mencegah burung gereja terbang ketakutan, sehingga burung-burung ini mati karena kelelahan. Dan ini tidak hanya memengaruhi burung gereja tetapi juga burung-burung lainnya,” terangnya.
Tetapi apa yang terjadi sehingga tikus, lalat, dan nyamuk terus diburu sedangkan burung gereja tidak?
"Yang terjadi setelah kampanye ini adalah serangan hama serangga. Dan orang-orang menafsirkan wabah ini sebagai akibat dari kampanye melawan burung gereja. Akhirnya burung gereja keluar dari daftar hama ini dan digantikan oleh kutu busuk," jelasnya.
Tetapi bagi Todd, sulit untuk memastikan bahwa ada korelasi langsung antara pembantaian burung gereja, wabah serangga, dan kelaparan.
"Yang paling banyak dimakan burung gereja adalah biji-bijian. Ada periode tertentu ketika mereka mencari serangga untuk memberi makan anak-anak mereka. Dan kalau Anda mempertimbangkan bahwa sejumlah besar burung gereja tidak melakukan itu lagi, maka Anda dapat berpikir bahwa itu akan berdampak pada populasi serangga,” ujarnya.
"Dan harus juga dikatakan bahwa kampanye ini tidak hanya berdampak pada burung gerejatetapi banyak burung, beberapa dari mereka memakan jauh lebih banyak serangga daripada burung gereja,” terangnya.
Yang menarik, Todd menambahkan, ini bukan satu-satunya periode dalam sejarah manusia ketika burung-burung ini dianiaya.
"Di AS kami juga memiliki apa yang disebut 'perang melawan burung gereja', meskipun itu berbeda dari apa yang terjadi di China," kata penulis itu kepada BBC Mundo.