Kehidupan bagi 90 orang di rumah dengan empat kamar tidur tidaklah mudah. Kelompok tersebut mencoba tidur secara bergiliran, dengan dua orang di atas kasur. Ibrahim, seorang insinyur, melepaskan jendela dari kusennya untuk mencegah kaca melukai orang jika ada kemungkinan serangan drone. Namun dengan terhambatnya pasokan makanan, air dan listrik di Gaza, tidak ada seorang pun yang bisa bersantai.
“Dari saat kami bangun hingga tidur, kami hanya berusaha untuk bertahan hidup,” katanya.
Beberapa dari kelompok tersebut mencoba keluar setiap hari untuk melihat apakah makanan kaleng dibagikan. Meskipun mereka bisa memanggang roti di oven kayu tetangga dengan persediaan gandum dan air yang semakin menipis, jumlah tersebut tidak cukup untuk makan lebih dari satu kali sehari.
Situasinya sangat sulit terutama bagi 30 anak – 10 di antaranya masih balita.
“Mereka selalu meminta makanan dan air, dan kami berusaha mendapatkan mereka sebanyak yang kami bisa. Ini sangat sulit,” lanjutnya.
“Orang-orang lanjut usia, kami bisa menahannya, kami bisa tetap lapar, tapi ketika anak-anak meminta makanan kami tidak bisa mengatakan tidak kepada mereka,” tambahnya.