Derita Warga Gaza Terpaksa Minum Air Kotor dan Asin karena Bahan Bakar Habis

Susi Susanti, Jurnalis
Rabu 25 Oktober 2023 18:09 WIB
Derita warga Gaza terpaksa minum air kotor dan asin karena bahan bakar habis (Foto: AFP)
Share :

GAZA – Warga Gaza terus mengalami penderitaan usai serangan udara Israel membombardir wilayah itu. Mereka harus menjalani kehidupan tanpa kebutuhan yang cukup. Salah satunya adalah air bersih.

Mohammad Al Shanti terpaksa melakukan perjalanan hampir empat mil ke Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza tengah untuk mengisi botol plastik dengan air. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.

“Kami tidak mencuci pakaian kami, kami menabung setiap tetesnya,” katanya kepada CNN. Dia wmenggambarkan situasi air sebagai “bencana besar.”

Bagi warga Gaza, tidak adanya aliran listrik berarti keran air telah kering.

“Kalaupun beruntung dan punya sumur, Anda tidak akan bisa memompa (air) ke lantai yang tinggi karena kami tidak punya listrik,” ujarnya.

Bagi Um Haitham Hassan, yang tinggal di tenda UNRWA di selatan kota Khan Younis, situasinya menjadi tidak dapat dipertahankan .

Dia tidak bisa mencuci pakaian keluarganya atau memandikan anak-anaknya. “Tidak ada air, bahan bakar terputus sama sekali,” katanya.

“Kami telah dipermalukan,” katanya kepada CNN. “

Semua pakaian kami, rambut kami, tubuh kami kotor. Dari mana kita mendapatkan air?,” tambahnya.

Menemukan air bersih menjadi tantangan yang sangat menyita waktu dan semakin sulit bagi banyak warga Gaza.

Seperti diketahui, serangan brutal Hamas di Israel pada tanggal 7 Oktober menewaskan sedikitnya 1.400 orang dan kelompok tersebut menyandera lebih dari 200 orang, menurut pihak berwenang Israel. Setelah serangan itu, Israel melancarkan serangan udara ke Gaza yang menurut para pejabat kesehatan Palestina telah menewaskan lebih dari 5.000 orang. Israel juga mengumumkan “pengepungan total” terhadap wilayah kantong tersebut, menahan pasokan air, makanan, dan bahan bakar yang penting.

Israel sejak itu mengizinkan sejumlah air mengalir melalui salah satu dari tiga jaringan pipa yang mengalir ke Gaza, namun para ahli mengatakan itu hanya mencakup sebagian kecil dari kebutuhan wilayah tersebut. Sebagian besar air di Gaza berasal dari sumber lokal, namun bahan bakar yang dibutuhkan untuk memompa dan membersihkannya cepat habis.

Ketika sistem air runtuh, sebagian warga Gaza terpaksa minum air kotor dan asin, sehingga memicu kekhawatiran akan krisis kesehatan dan ketakutan bahwa orang-orang akan meninggal karena dehidrasi.

Menurut laporan UNICEF pada 17 Oktober lalu yang mengutip Otoritas Air Palestina (PWA), produksi air di Gaza saat ini berada pada 5% dari tingkat normal.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), warga Gaza kini hidup dengan kebutuhan air kurang dari 3 liter per hari, jauh di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 50 liter sebagai kebutuhan minimum mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk minum, memasak, dan kebersihan.

“Satu-satunya air yang dimiliki masyarakat pada dasarnya adalah air laut yang tidak dapat diminum dan dicampur dengan limbah,” kata Natasha Hall, peneliti senior Program Timur Tengah di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS). Beberapa diantaranya terpaksa minum dari sumur pertanian, menurut organisasi nirlaba Oxfam.

“Bahan bakar adalah air. Menghentikan bahan bakar berarti memutus air,” ujarnya.

Mazen Ghunaim, Ketua PWA, mengatakan bahwa tanpa intervensi skala besar, kekurangan air akan memicu “bencana kemanusiaan.”

Ghunaim, pada Senin (23/10/2023) mengatakan pasokan bahan bakar Gaza bisa habis dalam waktu 48 hingga 72 jam.

Kekhawatiran terhadap penyakit semakin meningkat. Orang-orang terpaksa mengisi wadah dan menyimpan air untuk menambah persediaan.

Ada secercah harapan pada akhir pekan ini ketika konvoi pertama truk bantuan yang memuat air, makanan, dan pasokan medis memasuki Gaza selatan melalui penyeberangan Rafah, di perbatasan dengan Mesir.

Namun Gaza hanya menerima 60.000 liter air pada hari Sabtu, kata Ghunaim. Untuk memenuhi kebutuhan pokok 2,3 juta orang yang tinggal di daerah kantong tersebut membutuhkan 33 juta liter air setiap hari.

Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza mengatakan upaya pertolongan pertama ini hanya merupakan langkah awal.

Salah satu pasokan penting yang hilang dari konvoi bantuan adalah bahan bakar. Tanpanya, sistem air di Gaza akan hancur.

Peeperkorn mengatakan rumah sakit menghadapi “krisis air dan sanitasi yang akan segera terjadi. Beberapa di antaranya hanya memiliki sedikit air sehingga mereka kesulitan mensterilkan peralatan bedah.

Kellogg Schwab, profesor air dan kesehatan masyarakat di Universitas Johns Hopkins, mengatakan air adalah pengguna energi yang rakus karena sangat berat.

Setiap liter beratnya 1 kilogram (2,2 pon). Menggerakan air “membutuhkan energi yang sangat besar,” terangnya kepada CNN.

Kelima instalasi pengolahan air limbah dan dua dari tiga instalasi desalinasi telah berhenti bekerja. Pabrik desalinasi besar terakhir yang tersisa di wilayah kantong tersebut, yang telah ditutup selama hampir seminggu, kembali beroperasi pada Sabtu (21/10/2023) namun kapasitasnya kurang dari 7% dari kapasitas biasanya. Meskipun beberapa unit desalinasi yang lebih kecil masih beroperasi, unit-unit tersebut masih bersifat lokal dan masih jauh dari memadai.

“Air tersebut dapat terkontaminasi kembali dengan sangat cepat,” katanya.

Omar Shaban, pendiri dan direktur lembaga pemikir independen PalThink for Strategic Studies yang berbasis di Gaza, mengatakan banyak truk air yang diandalkan warga Gaza untuk mengisi wadah air tidak dapat menjangkau rumah-rumah penduduk karena kekurangan bahan bakar, dan karena pemboman.

Membuat air dapat diminum juga bergantung pada bahan bakar.

Limbah menumpuk di jalan-jalan dan pengungsi Gaza berkerumun di tempat penampungan yang tidak memiliki sanitasi yang memadai.

Para ahli mengkhawatirkan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air seperti kolera dan disentri, yang akan memberikan tekanan lebih besar pada sistem kesehatan yang sudah berada di ambang kehancuran.

CNN menghubungi COGAT, Koordinator Kegiatan Pemerintah Israel di Wilayah tersebut, untuk memberikan komentar mengenai situasi air dan bahan bakar di Gaza tetapi belum menerima tanggapan.

Israel telah berulang kali mengatakan bahan bakar akan digunakan untuk upaya perang Hamas.

“Keputusan pemerintah adalah bahan bakar tidak masuk karena akan dicuri oleh Hamas dan akan digunakan oleh mereka untuk menggerakkan roket yang ditembakkan ke Israel untuk membunuh rakyat kami,” terang Mark Regev, penasihat senior Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, kepada CNN pada Senin (23/10/2023). Dia mengatakan Israel tidak akan mengizinkan bahan bakar masuk meskipun semua sandera telah dibebaskan.

Namun, Kepala staf Angkatan Pertahanan Israel, Letjen Herzi Halevi, menyarankan agar posisi ini dilunakkan.

“Kami akan memastikan akan ada bahan bakar di tempat-tempat yang membutuhkan bahan bakar untuk mengobati warga sipil. Kami tidak akan mengizinkan bahan bakar untuk Hamas sehingga mereka dapat terus berperang melawan warga Israel,” katanya dalam pidato langsung di TV pada Selasa (24/10/2023) sore. Namun dia tidak memberikan rincian kapan dan bagaimana mereka akan mendistribusikan bahan bakar tersebut.

Badan-badan internasional memperingatkan bahwa tanpa bahan bakar, air minum yang aman akan habis.

“Orang-orang akan mulai meninggal karena dehidrasi parah, di antaranya adalah anak-anak kecil,” kata Philippe Lazzarini, komisaris jenderal UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Akses terhadap air bersih telah lama menjadi salah satu tantangan tersulit bagi mereka yang tinggal di Jalur Gaza. Wilayah seluas 140 mil persegi ini merupakan salah satu tempat terpadat di dunia.

Gaza memiliki tiga sumber air utama. Yakni pabrik desalinasi, jaringan pipa yang mengalirkan air yang dibeli dari Israel, dan sumur air tanah.

Sebagian besar air di Gaza berasal dari akuifer pesisir, yaitu perairan bawah tanah yang membentang di sepanjang garis pantai Mediterania timur dari Semenanjung Sinai di Mesir hingga Israel.

Sekitar 97% tidak dapat diminum karena rasanya asin, payau, dan terkontaminasi oleh air limbah dan polusi yang tidak diolah.

Akuifer tersebut telah diekstraksi secara berlebihan untuk melayani populasi Gaza yang terus bertambah. Jumlah air yang dibuang lebih dari dua kali lipat dibandingkan jumlah air yang diisi kembali secara alami setiap tahunnya, dan ketika tingkat air tawar menurun, air asin dari Mediterania telah meresap ke dalamnya.

Krisis iklim juga berdampak. Kenaikan permukaan air laut akan meningkatkan salinitas air tanah dan kejadian cuaca ekstrem yang lebih intens dan sering terjadi seperti panas dan kekeringan akan semakin mengancam sumber daya air.

Hall mengatakan kontrol Israel atas sistem air Gaza telah membuat situasi menjadi lebih sulit. Terutama dalam hal bagian-bagian yang diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut.

Barang-barang yang dianggap “penggunaan ganda” – yang berarti barang-barang tersebut juga dapat digunakan untuk keperluan militer – memerlukan izin khusus untuk dibawa ke Gaza.

“Membangun apa pun, baik di Tepi Barat atau Gaza, dalam hal infrastruktur air sangatlah sulit,” terangnya.

Bahkan sebelum konflik terjadi, banyak ahli mengatakan bahwa situasi air akan menjadi bencana besar di masa depan.

Bagi masyarakat di Gaza, tidak ada jalan keluar karena krisis ini semakin parah. Kekurangan air terjadi dalam konflik di seluruh dunia, namun kenyataannya banyak orang yang pergi begitu saja.

“Ketika air mengering, mereka berpindah-pindah dan warga Gaza tidak bisa bergerak,” lanjutnya.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya