3 Operasi Militer Israel yang Dipimpin Ariel Sharon

Salsabila Fitirah Puteri, Jurnalis
Kamis 30 November 2023 14:34 WIB
Ariel Sharon. (Foto: Reuters)
Share :

TEL AVIV - Ariel Sharon, juga dikenal dengan nama kecilnya Arik, merupakan seorang jenderal dan politikus Israel yang mengepalai pemerintahan sebagai perdana menteri Israel dari Maret 2001 hingga April 2006.

Karier militernya dimulai dengan kenaikan pangkat di Angkatan Darat Israel sejak pembentukannya pada 1948.

Ia terlibat dalam Perang Palestina pada 1948 sebagai komandan peleton Brigade Alexandroni dan berpartisipasi dalam berbagai pertempuran.

Dilansir dari berbagai sumber, inilah daftar 3 operasi militer yang dipimpin oleh Ariel Sharon.

Pembantaian Qibya 

Pembantaian Qibya terjadi dalam selama Operasi Shoshana pada Oktober 1953.

Dalam operasi pembalasan ini, pasukan Israel di bawah komando Ariel Sharon menyerang desa Qibya di Tepi Barat, yang saat itu berada di bawah kendali Yordania, dan mengakibatkan kematian lebih dari enam puluh sembilan warga sipil Palestina.

Lebih dari dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu, empat puluh lima rumah, sebuah sekolah, dan sebuah masjid di desa tersebut hancur.

Serangan ini disusul oleh serangan lintas batas dari Tepi Barat, dan Israel menggambarkan pembantaian Qibya sebagai respons terhadap serangan yang menewaskan seorang wanita Israel dan dua anaknya.

Menurut laporan Komisi Gencatan Senjata Campuran, yang disetujui segera setelah operasi dan disampaikan oleh Mayor Jenderal Vagn Bennike kepada Dewan Keamanan PBB, penggerebekan di Qibya terjadi pada malam hari 14 Oktober 1953, sekitar pukul 21.30.

Operasi ini melibatkan sekira setengah batalion tentara dari tentara reguler Israel, dengan perkiraan sekitar 130 Pasukan Pertahanan Israel (IDF), sepertiganya berasal dari Unit 101, yang dipimpin oleh Ariel Sharon, yang pada saat itu adalah seorang Mayor di IDF dan komandan Unit 101.

Serangan dimulai dengan serangan mortir ke desa, diikuti dengan penggunaan torpedo Bangalore untuk menerobos pagar kawat berduri dan pemasangan ranjau di jalan untuk mencegah intervensi pasukan Yordania.

Pasukan Israel memasuki desa dari tiga sisi, menghadapi perlawanan dari tentara dan penjaga desa.

Dalam baku tembak berikutnya, sejumlah tentara dan penjaga desa tewas, dan seorang tentara Israel terluka ringan.

Sayangnya, para prajurit tidak memeriksa secara menyeluruh rumah-rumah di desa untuk mengetahui keberadaan penduduknya.

Saat insinyur militer meledakkan puluhan bangunan dengan dinamit, puluhan warga sipil tewas. Operasi dianggap selesai saat fajar, dan tentara Israel kembali ke rumah.

Pembantaian Sabra dan Shatila 

Pembantaian Sabra dan Shatila adalah peristiwa pembunuhan massal yang terjadi antara 16 dan 18 September 1982 di kota Beirut selama Perang Saudara Lebanon.

Sejumlah besar warga sipil, sebagian besar warga Palestina dan Syiah Lebanon, diperkirakan tewas, dengan perkiraan jumlah korban berkisar antara 460 hingga 3.500 orang.

Pasukan Lebanon, termasuk Milisi Kristen, bersekutu dengan IDF, yang mengepung lingkungan Sabra di Beirut dan kamp pengungsi Shatila.

Invasi Israel ke Lebanon pada Juni 1982 bertujuan untuk mengatasi pemberontakan Palestina yang telah berlangsung di sana.

Setelah PLO menarik diri dari Lebanon pada 30 Agustus, politisi Lebanon yang bersekutu dengan Israel, Bachir Gemayel, dibunuh pada 14 September, memicu serangan balas dendam oleh milisi Kristen Falangis.

Pasukan Lebanon, bersama IDF, maju ke Beirut barat, melanggar perjanjian gencatan senjata. IDF memerintahkan Pasukan Lebanon untuk membersihkan pejuang PLO dari Sabra dan Shatila.

Sebuah komisi independen yang dipimpin oleh Seán MacBride menyimpulkan pada Februari 1983 bahwa IDF bertanggung jawab atas pembantaian tersebut, menyebutnya sebagai bentuk genosida.

Komisi Kahan Israel pada bulan yang sama menemukan bahwa personel militer Israel gagal mengambil tindakan serius untuk menghentikan pembunuhan meskipun mengetahui tindakan milisi tersebut.

Akibatnya, Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon mengundurkan diri dari jabatannya karena dianggap mengabaikan bahaya pertumpahan darah dan balas dendam selama pembantaian.

Perang Lebanon 1982

Perang Lebanon 1982 dimulai pada 6 Juni 1982, ketika IDF menginvasi Lebanon selatan setelah serangkaian serangan dan serangan balik antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan IDF di wilayah tersebut.

Invasi ini terjadi sebagai respons terhadap upaya pembunuhan Shlomo Argov, duta besar Israel untuk Inggris, oleh orang-orang bersenjata dari Organisasi Abu Nidal.

Meskipun Begin menyalahkan PLO atas insiden tersebut, banyak analis, seperti Avi Shlaim, menunjukkan bahwa Menteri Pertahanan Ariel Sharon adalah pendorong utama di balik invasi tersebut.

Tujuan utama Sharon melibatkan penghancuran infrastruktur militer PLO di Lebanon, pelemahan organisasi politiknya, dan memfasilitasi penyerapan Tepi Barat oleh Israel.

Selain itu, Sharon bermaksud untuk membentuk pemerintahan Maronit di Lebanon yang dipimpin oleh Bashir Gemayel, mengusir pasukan Suriah dari Lebanon, dan menandatangani perjanjian damai yang mengikat dengan pemerintah Lebanon.

Pada saat itu, dengan penarikan Israel dari Sinai pada Maret 1982, pemerintah Israel, yang dipimpin oleh Partai Likud, memperkeras sikapnya terhadap dunia Arab dan mengadopsi pendekatan yang lebih agresif.

Menurut Zeev Maoz, Menteri Pertahanan Ariel Sharon merumuskan empat tujuan utama perang tersebut.

Di antaranya untuk menghancurkan infrastruktur PLO di Lebanon, termasuk markas PLO di Beirut, mengusir pasukan Suriah dari Lebanon, memasang pemerintahan yang didominasi oleh Kristen di Lebanon, dengan Bashir Gemayel sebagai Presiden, dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Lebanon untuk memperkuat aliansi informal Israel-Kristen dan mengubahnya menjadi perjanjian yang mengikat.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya