JAKARTA - Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di pemerintahannya diapresiasi dan patut dinantikan. Prabowo dalam pidatonya menyatakan para koruptor dapat dimaafkan asalkan mengembalikan hasil korupsi kepada negara.
Pengamat hukum dan Politik Pieter C Zulkifli mengatakan, pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang tegas dari Kepala Negara.
"Mengingat korupsi di Indonesia bukan lagi soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar," kata Pieter Zulkifli, Sabtu (28/12/2024).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu menilai pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang korupsinya kepada negara merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery) sesuai dengan prinsip dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC).
Dia juga menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, yang mendukung gagasan tersebut dengan menyebutnya sebagai pendekatan restoratif. Penegakan hukum korupsi bahkan disebut harus membawa manfaat bagi ekonomi bangsa, bukan sekadar balas dendam.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, menunjukkan bahwa peran Presiden sangat menentukan. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus besar seperti skandal Bank Century tetap berjalan meskipun menyeret nama besannya, Aulia Pohan.
"Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan KPK melemah atau sebaliknya, dia akan menunjukkan komitmen nyata memperkuat Lembaga Antirasuah ini?" ucapnya.
Saat ini kata dia, korupsi di Indonesia sudah menjadi sistemik, melibatkan lingkaran kekuasaan, birokrasi, hingga hukum. Uang menjadi benang merah dalam perekrutan, promosi jabatan, hingga pengambilan kebijakan.