JAKARTA — Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 menuai kecaman publik setelah menetapkan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan. Keputusan tersebut kontroversial karena dianggap tidak rasional dan tidak sesuai dengan semangat keterbukaan informasi publik.
Keputusan yang ditandatangani pimpinan KPU pada 21 Agustus 2025 itu disebut tidak melalui konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi II yang menjadi mitra kerja KPU. Hal ini langsung menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Bahkan tak sedkit sudah muncul kecaman agar KPU "di-Nepal-kan" di beberapa platform sosial media, meski Alhamdulillah belum benar-benar terjadi," ujar Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen, Minggu (21/9/2025).
"Meski tetap perlu diapresiasi karena masih mau (baca: takut?) mendengar desakan bahkan kecaman masyarakat di atas, namun apakah cukup dan dianggap selesai dengan KPU sudah membatalkan Keputusan yang sangat kontroversial tersebut?" ujarnya.
Mantan Menpora itu pun menilai wajar munculnya desakan agar seluruh komisioner KPU mengundurkan diri pun mencuat. Karena hasil Keputusan No. 731 Tahun 2025 itu pasti bukan hasil individual tetapi kolektif kolegial.
Desakan mengundurkan diri bersama-sama sebagai wujud pertanggungjawaban moral akibat ulahnya yang hampir membuat negara ini terkoyak, bahkan nyaris mau "di-Nepal-kan".
"Jadi perlu diingat yang harus mundur bukan hanya Muh Affifuddin saja, namun semua Komioner KPU karena secara bersama-sama telah gagal dalam bekerja," tututrnya.
Keputusan itu sangat kontroversial karena salah satu tujuannya agar masyarakat tidak bisa membuka dokumen ijazah yang menjadi persyaratan capres dan cawapres dan terlihat sangat subyektif untuk memihak oknum tertentu, ternyata berimplikasi besar terhadap tertutupnya semua akses masyarakat terhadap 15 syarat lainnya yang seharusnya terbuka demi transparansi masyatakat yang sudah ada selama ini.
Roy Suryo menambahkan, dalam keputusan itu, sebelumnya KPU secara tidak masuk akal dan logika waras menyatakan ada konsekuensi bahaya dibukanya informasi dokumen persyaratan capres dan cawapres dalam tahapan pendaftaran, termasuk perihal ijazah. Ini jelas sebuah keberpihakan KPU terhadap Oknum Pejabat publik atau bekas Pejabat yang tidak mau transparan dan terbuka soal rekam jejaknya, di mana sangat mungkin memang palsu atau bermasalah.
"KPU sebelumnya mau keukeuh bahwa itu sesuai dengan ketentuan PKPU No 15 Tahun 2014 dan tertuang juga dalam PKPU No 22 Tahun 2018, namun konyolnya KPU malah lupa bahasa ada UUD tahun 1945 dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang jelas-jelas memiliki kedudukan di atasnya, namun mau seenaknya ditabrak dengan Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 ini," katanya.
Ke-16 dokumen persyaratan yang sempat dikecualikan KPU tersebut meliputi:
1. Fotokopi KTP-El dan akta kelahiran;
2. SKCK dari Polri;
3. Surat kesehatan dari rumah sakit pemerintah;
4. Surat tanda terima LHKPN dari KPK;
5. Surat tidak pailit dan tidak berhutang dari PN;
6. Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota legislatif;
7. Fotokopi NPWP dan SPT lima tahun terakhir;
8. Daftar riwayat hidup dan rekam jejak;
9. Surat pernyataan belum pernah menjabat Presiden/Wapres dua kali;
10. Surat pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945;
11. Surat keterangan tidak pernah dipidana lebih dari 5 tahun;
12. Fotokopi ijazah/STTB yang dilegalisasi;
13. Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang/G30S/PKI;
14. Surat pernyataan kesediaan sebagai capres/cawapres;
15. Surat pengunduran diri dari TNI, Polri, PNS;
16. Surat pengunduran diri dari BUMN/BUMD.
Dari daftar panjang syarat di atas jelas terbaca bahwa kalau sebelumnya keputusan itu untuk menutup akses masyarakat terhadap syarat No 12 (Ijazah, STTB dan lainnya), namun KPU mengorbankan syarat-syarat penting lainnya, termasuk syarat No. 4 (LHKPN), No 10 (Setia kepada Pancasila, UUD 1945), No. 13 (Bebas G30S/PKI) dan syarat-syarat penting lainnya.
"Ini ibarat mau mencari tikus tapi KPU malah membakar lumbungnya. Sebuah tindakan yang malah melawan akal waras dan menutup keterbukaan informasi publik demi melindungi kebohongan atau bahkan kejahatan oknum tertentu," ujarnya.
Roy Suryo mengingatkan, meski Keputusan KPU No 731 Tahun 2025 sudah dibatalkan, tetap harus selalu waspada bahwa perjuangan belum selesai. Masyarakat harus tetap mengawasi KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya dan rakyat tidak boleh berpuas diri.
"Setiap kali ada aturan yang berpotensi melemahkan transparansi dan demokrasi, semua harus kepo (curiga) dan kritis, karena musuh demokrasi sering menyelinap dari dalam, lewat celah regulasi yang harus terus diwaspadai," pungkasnya.
(Arief Setyadi )