IPW: Komjen Rudy Heriyanto Kandidat Kapolri Alternatif untuk Reformasi Polri

Awaludin, Jurnalis
Selasa 30 September 2025 18:01 WIB
Polri (foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Bursa calon Kapolri kembali menghangat. Di tengah nama-nama besar yang beredar, ada satu sosok yang menarik perhatian yaitu Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho. Kombinasi jenderal bintang tiga sekaligus profesor hukum—hal yang sangat jarang di tubuh Polri.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengatakan, dari nama-nama yang beredar, Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho membuat isu pergantian Kapolri ini menjadi semakin menarik.

“Dari yang beredar ini saya memperhatikan satu orang yang agak beda. Yang tiga lain kan, seperti Komjen Suyudi (S) Kepala BNN, Pak Dedi (D) Prasetyo Wakapolri, dan satu lagi Rudi (R) Darmoko Akpol 93. Ini kan semuanya Akpol. Dan yang menarik, ada satu nama yang beredar yaitu Komjen Pol Rudy (R) Heriyanto, ini yang non-Akpol, satu-satunya ya yang non-Akpol,” ujarnya kepada wartawan, Senin (29/9/2025).

Sugeng mengatakan, meskipun bukan berasal dari Akpol, Komjen Pol Rudy Heriyanto tetap memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi Kapolri.

“Pertanyaannya apakah bisa (Rudy Heriyanto jadi Kapolri)? Menurut saya bisa. Kalau Polri mau menjadi sebuah institusi yang terbuka, memberikan kesempatan yang sama, itu bisa semuanya, termasuk Komjen Rudy Heriyanto,” katanya.

 

Selain berpangkat Jenderal Bintang Tiga, Sugeng mengungkapkan, Komjen Pol Rudy Heriyanto juga memiliki rekam jejak, kompetensi, dan prestasi yang cukup mumpuni.

“Dia pernah menjabat Kapolda, Kadivkum, sebelumnya Direksus, Dirkrimum Polda, pernah jadi Kapolres. Ini kan posisi-posisi yang menurut saya cukup strategis. Artinya, sebagai non-Akpol, dia diakui setara. Memang kemudian saya meneliti ya dari rekam jejak Pak Rudy Heriyanto ini, dia saya lihat sebagai lulusan terbaik SEPA Polri 1993, sama seperti Rudi Darmoko. Dia kan Akpol 93 Adhi Makayasa, jadi sama,” ungkapnya.

Meski demikian, Sugeng menegaskan penunjukan Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto. Sebab semua Perwira Tinggi (Pati) Polri berpangkat Jenderal Bintang Tiga atau Komjen Pol berhak menjadi Kapolri.

“Semua nama Perwira Tinggi Polri yang beredar itu, D, R dan S ini kan (jenderal) bintang tiga ya. Semuanya bintang tiga. Ini semua punya hak yang sama, punya kans yang sama,” ungkapnya.

 

Seperti diketahui, Komjen Pol Rudy memiliki profil unik dari latar belakangnya yang bukan lulusan Akpol. Dia alumni Sekolah Perwira (SEPA) Polri 1993, lulus sebagai yang terbaik di angkatannya. Selama ini kursi Kapolri hampir selalu diisi lulusan Akpol. Kalau Rudy terpilih, ini akan jadi preseden baru yang cukup menarik.

Jalur non-konvensional ini punya dua sisi. Di satu sisi, membuktikan bahwa sistem merit di tubuh Polri bisa mengalahkan privilege jejaring angkatan. Di sisi lain, secara politik internal, posisinya tidak sekuat kandidat dari jalur mainstream. Inilah dilema yang dihadapi kandidat dari luar sistem dominan.

Kekuatan utamanya ada di pengalaman lapangan dan kedalaman akademik. Di Bareskrim, dia memimpin direktorat-direktorat vital seperti Dirtipideksus yang menangani kejahatan ekonomi berat—korupsi, pencucian uang, investasi bodong. Kasusnya bukan yang mudah. Ini kasus yang butuh kesabaran tinggi, analisis mendalam, dan ketelitian ekstrem.

Sebagai akademisi, Rudy adalah doktor hukum dan profesor di bidang Mediasi Kepolisian dari Universitas Lampung. Orasi ilmiahnya tentang Restorative Justice tahun 2022 cukup menarik perhatian. Intinya sederhana: tidak semua perkara harus berakhir di pengadilan. Ada ruang untuk mediasi, pemulihan, dan solusi yang lebih manusiawi.

 

Konsep ini kontroversial. Ada yang menganggapnya terlalu idealis untuk diterapkan di lapangan yang penuh tekanan dan kompleksitas. Ada juga yang melihatnya sebagai jalan keluar dari sistem peradilan yang overload dan seringkali lebih fokus pada pembalasan ketimbang keadilan.

Pengalaman sebagai Kapolda Banten dari 2020 hingga 2023 menjadi testing ground untuk ide-idenya. Dia menerapkan community policing, mendekatkan polisi dengan masyarakat. Hasilnya? Data menunjukkan penurunan tingkat kejahatan sekitar 12%. Tidak spektakuler, tapi konsisten dan terukur.

Tentu ada kritik. Beberapa pihak menilai pendekatannya terlalu soft untuk daerah yang punya masalah premanisme cukup keras seperti Banten. Yang lain mempertanyakan apakah penurunan angka kejahatan itu murni karena kebijakannya atau ada faktor eksternal seperti pandemi. Pertanyaan yang wajar dan perlu dijawab.

Yang menarik adalah penugasannya saat ini. Sejak Desember 2023, Rudy menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, jabatan sipil eselon I. Ini menunjukkan kepercayaan pemerintah pada kapasitas manajerialnya di luar struktur kepolisian. Sektor kelautan rawan dengan illegal fishing dan berbagai bentuk penyimpangan—persis domain yang dia kuasai dari pengalaman di Tipideksus.

 

Pertanyaan besarnya sekarang: apakah Indonesia butuh Kapolri tipe akademis-reformis seperti Rudy? Atau justru butuh yang lebih pragmatis dan action-oriented? Ini perdebatan yang belum selesai, bahkan di kalangan pengamat kepolisian sendiri.

Yang jelas, kalau Rudy terpilih, ini sinyal kuat bahwa kualitas dan kapasitas bisa mengalahkan jalur konvensional. Itu sendiri sudah bentuk reformasi. Tapi apakah cukup untuk menggerakkan institusi sebesar Polri dengan segala kompleksitasnya? Itu pertanyaan yang jawabannya hanya bisa dilihat dalam praktik.

Keputusan ada di tangan Presiden. Dan sejarah membuktikan, dalam pemilihan Kapolri, kejutan bisa datang kapan saja.
 

(Awaludin)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya