JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai Polri menuai pro kontra. Putusan itu terkait larangan anggota Polri menduduki jabatan sipil di luar struktur kepolisian.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Juanda, putusan itu kerap disalahartikan. MK sebenarnya hanya menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Pembatalan frasa tersebut bukan berarti MK melarang perwira Polri aktif menempati posisi tertentu di instansi lain. Apalagi, jabatan yang memiliki keterkaitan langsung dengan tugas kepolisian.
Ia menegaskan, substansi utama Pasal 28 Ayat (3) tetap berlaku. Norma tersebut menyatakan bahwa anggota Polri dapat menjabat di luar institusi kepolisian asal jabatan tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan fungsi kepolisian. Kemudian, tidak mensyaratkan pengunduran diri atau pensiun.
“Inti putusan MK bukan melarang polisi menduduki jabatan tertentu, tetapi hanya menegaskan bahwa penjelasan pasal tidak boleh bertentangan dengan semangat Pasal 30 UUD 1945,” ujarnya, dikutip Minggu (16/11/2025).
Hal itu selaras dengan dissenting opinion tiga hakim konstitusi dalam perkara tersebut. Dalam analisisnya, Juanda menegaskan, anggapan publik yang menyimpulkn adanya larangan menyeluruh adalah keliru.
“Tidak ada alasan normatif yang menyimpulkan adanya larangan total. Putusan MK hanya membatalkan satu frasa dalam penjelasan, bukan menutup pintu bagi penugasan anggota Polri di berbagai posisi strategis pemerintahan,” katanya.
UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN serta PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020, kata Juanda, justru membuka peluang bagi anggota Polri untuk mengisi jabatan ASN, termasuk Jabatan Pimpinan Tinggi utama dan madya, sepanjang melalui mekanisme penugasan resmi dan mendapat persetujuan Presiden.
Juanda menambahkan, ada tiga hakim MK dalam pendapat berbeda atau dissenting opinion bahwa persoalan yang diajukan pemohon lebih bersifat implementatif, bukan menyangkut konstitusionalitas norma.
“Mereka menilai permohonan semestinya dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Ini menegaskan bahwa isu larangan polisi menjabat jabatan di luar Polri bukanlah inti persoalan dalam perkara ini,” ujarnya.
Anggota Polri, menurutnya, secara hukum bagian dari aparatur negara sebagaimana diatur UU 2/2002 dan UU ASN. Sehingga, ia menilai penempatan anggota Polri merupakan praktik yang sah dalam jabatan pemerintahan.
“Secara konstitusional, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan memiliki kewenangan untuk menunjuk anggota Polri pada jabatan strategis, baik di kementerian maupun lembaga negara. Tidak ada larangan dalam sistem hukum kita,” tegasnya.
Juanda mengungkapkan, agar tidak terus menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, pemerintah dan DPR ke depan perlu memperjelas batasan mengenai jabatan yang mempunyai sangkut paut dengan tugas kepolisian dalam revisi UU Kepolisian.
“Reformasi hukum kepolisian harus memastikan kejelasan norma dan kepastian bagi anggota Polri yang ditugaskan di luar institusi. Ini penting untuk mencegah politisasi tafsir,” ujarnya.
Pada intinya, Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 tidak mengubah implikasi hukum untuk meniadakan keberlakuan Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2/2002, kecuali pada frasa “atau tidak ada penugasan dari Kapolri” yang dinyatakan inkonstitusional.
Lantaran tidak menimbulkan perubahan norma yang signifikan, anggota Polri tetap dapat menjabat di luar Polri tanpa harus mundur atau pensiun, sepanjang jabatan tersebut memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian. Kemudian, tetap mengikuti mekanisme dalam UU ASN serta peraturan turunannya.
Selanjutnya, perlu ada penegasan lebih lanjut melalui revisi UU Polri mengenai jenis jabatan apa saja yang dianggap berkaitan dengan fungsi kepolisian agar tidak terjadi penyimpangan tafsir di masa mendatang.
(Arief Setyadi )