Menurut Iqbal, berbagai persoalan tersebut kemudian membentuk narasi bahwa Pilkada langsung terlalu mahal dan bermasalah. Narasi ini lalu digunakan sebagai pembenaran untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Padahal, menurutnya, Pilkada langsung merupakan koreksi historis atas praktik demokrasi elitis di masa lalu. Mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah ke DPRD tanpa reformasi serius terhadap mekanisme rekrutmen dan pencalonan bukan hanya merupakan kemunduran demokrasi, tetapi juga menyingkirkan peran rakyat dalam menentukan pemimpin daerah.
“Mengembalikan Pilkada agar dipilih DPRD bukan hanya langkah mundur bagi demokrasi, tetapi juga tidak menjawab persoalan mendasar Pilkada hari ini. Secara sistemik, rakyat justru tersingkir dan hanya menjadi fitur demokrasi tanpa fungsi karena perannya dalam memilih kepemimpinan daerah dinonaktifkan,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa mekanisme pemilihan oleh DPRD tidak serta-merta menutup ruang politik uang. Sebaliknya, terbatasnya jumlah pemilih justru berpotensi mendorong proses politik berlangsung di ruang elite yang tertutup dari pengawasan publik.
"Dengan pemilih yang terbatas, proses politik justru berpindah dari ruang publik yang terbuka ke ruang elite yang lebih tertutup, di mana praktik lobi politik yang lebih transaksional dapat terjadi," pungkasnya.
(Awaludin)