Seiring berjalannya waktu, Slamet Rijadi menyandang pangkat Overste (Letnan Kolonel). Namanya kian harum mengomandoi Brigade V/Panembahan Senopati dalam “Serangan Oemoem Solo”, 7-10 Agustus 1949 yang konon, lebih dahsyat dari “Serangan Oemoem 1 Maret (1949)" di Yogyakarta, lantaran berlangsung 96 jam!
Tak seperti para bekas PETA seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman atau Jenderal (anumerta) Achmad Jani, eks-Heiho hanya segelintir yang dikemudian hari punya nama besar.
Selain Slamet Rijadi, segelintir eks-Heiho yang namanya menjulang adalah Untung bin Syamsuri. Dalam buku “Untung, Cakrabirawa dan G30S”, sosok dengan nama lahir Kusman itu masuk Heiho sejak usia 17 tahun. Pendidikannya yang rendah tetap membolehkannya mengenal dunia militer.
Setelah Heiho dibubarkan, Untung – sebagaimana para eks-Heiho, PETA dan Gyugun, ikut terlibat revolusi, di mana Untung bergabung di Batalyon Sudigdo. Terlepas dari perannya di masa revolusi, sayangnya Untung mengakhiri kariernya dengan aib.
Dia terlibat G30S (Gerakan 30 September) 1965 yang berujung pada kematian sejumlah tokoh teras Angkatan Darat, salah satunya Achmad Jani. Setahun setelah peristiwa berdarah itu, Untung dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat, pasca-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).
(Randy Wirayudha)