Surat kabar “De Waarheid” pada Juli 1947 pernah memaparkan soal kebengisan Westerling yang disamakan dengan kejamnya tentara dan Gestapo (polisi rahasia) Jerman pada era Perang Dunia II.
Pun begitu dengan surat kabar “Vrij Nederland” di bulan dan tahun yang sama, ketika menjabarkan bagaimana Westerling acap mengadu tawanannya untuk bertarung, lalu yang kalah ‘didor’.
Westerling juga ‘hobi’ menembak rakyat sipil tanpa alasan, hanya untuk meninggalkan trauma dengan tujuan agar mau buka mulut soal persembunyian gerilyawan. Westerling sendiri saat ini sudah tujuh kaki di bawah tanah alias meninggal.
Akan tetapi, beberapa usaha para keluarga korban pembantaiannya di Sulawesi untuk mencari keadilan masih terus berjalan. Westerling sempat hidup tenang dengan istrinya keturunan Prancis-Indonesia, Yvonne Fournier di Friesland.
Dia menghabiskan hidupnya belajar olah vokal di Konservatorium Amsterdam, serta menjalankan bisnis toko buku antic. Westerling menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung di Purmerend (Belanda), 26 November 1987.
(Randy Wirayudha)