Kedua, El Nino membawa dampak kekeringan. Kekeringan tersebut berimbas pada banyak sektor, terutama lingkungan hidup, kehutanan dan pertanian/perkebunan. Kendati pun, data FAO (2000) menunjukkan bahwa jumlah tuna meningkat sebagai akibat “mendinginnya” suhu muka laut di sekitar Indonesia yang sangat kondusif bagi pertumbuhan plankton dan menjadi “kolam” ikan yang potensial.
Kekeringan di pihak yang lain juga memberikan “ruang” bagi petambak garam untuk menangguk panen yang berlebih. Walau pun di sektor kelautan, perubahan suhu di lautan berpotensi merusak terumbu karang yang ada.
Ketiga, sejarah dan juga catatan rinci perulangan El Nino ini menunjukkan bahwa tidak seluruh Indonesia terkena dampaknya. Catatan global menunjukkan bahwa Sumatera bagian Tengah dan Utara tidak terkena secara langsung dampak El Nino.
Beberapa wilayah Kalimantan demikian juga. Pada intensitas El Nino yang kuat, justru daerah Jawa, Bali, NTB dan NTT sangat terdampak. Demikian pula, Sulawesi bagian Selatan, Maluku dan sebagian Papua bagian Selatan.
Mencermati peta wilayah terdampak tersebut, dapat dilakukan mitigasi yang lebih efektif, efisien dan optimal. Di wilayah yang tidak terdampak, produksi dan manajemen distribusi logistik serta memasok kebutuhan daerah terdampak ditingkatkan. Sedangkan, pada wilayah terdampak dilakukan antisipasi untuk memitigasi resiko negatifnya di berbagai sektor.
Keempat, Indonesia beruntung, karena menjelang Oktober/Nopember angin monsun berbalik karena perputaran matahari. Angin ini mengimbas kelaziman datangnya musim hujan.