Glunde sendiri mengaku sempat didatangi oleh pegawai salah satu industri kayu olahan di Sukoharjo di mana dia biasa menyetor kayu rangka agar melengkapi surat asal-usul kayunya.
"Kemarin didatangi petugas pabrik yang menyuruh untuk melengkapi surat 'saka ndi (dari mana) asal kayune (kayunya)', dan disetor ke pabrik suratnya," paparnya.
Karena tak paham dengan aturan itu semua, Glunde mengaku tak berusaha mencarinya. Dirinya pun tetap mencari kayu tanpa adannya surat-surat.
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami oleh Wagiyo salah satu pemiliki hutan rakyat di kawasan Jumantono Karanganyar,Jawa Tengah. Wagio mengaku tidak tahu apa itu SVLK.
Selama ini Wagiyo yang memiliki lahan yang ditanami pohon jati dan juga sengon biasa menjual kayu gelondongan pada sejumlah pengusaha kayu di sentra kerajinan yang ada di Sukoharjo, Karanganyar, juga Sragen.
"Napa yen enten surat niku regine kayu dados mundak. Lak mboten tho, (apakah setelah mengantongi surat itu harga kayu jadi naik, kan tidak-red)," tanyanya.
Wagiyo mendapat pengarahan dari pabrik dimana dia biasa menjual produk kayunya, jika akan mengirim kayu harus pakai surat jalan yang menyatakan kayu itu berasal dari lahan miliknya di sertai foto copy kartu identitas.
"Saat ini setelah ada pemberitahuan setiap kirim barang selalu saya kasih nota dan tanda tangan dan dibawa sopirnya ke pabrik," katanya.
Tak hanya Glunde dan Wagio saja yang tak tahu apa itu SVLK. Pengambil kebijakan di tingkat daerah, dalam hal ini bupati pun tak tahu apa itu SVLK.
Bupati Karanganyar Juliatmono terang-terangan tak tahu apa itu SVLK dan apa kegunaan dari SVLK. Pasalnya, sejak dirinya duduk di kursi legislatif hingga saat ini menjabat sebagai bupati, dirinya belum pernah tahu bila di kabupaten yang dipimpinnya mengetahui mekanisme alur pengurusan SVLK.
"SVLK itu apa? Baru kali ini saya dengar. Saya belum tahu apa itu SVLK. Apa sejenis dari surat keterangan yang dikeluarkan RT dan RW ya. Coba tanyakan saja ke Kantor Badan Pengelolaan Perizinan Satu Atap. Atau ke Disperindakop. Mungkin tahu apa itu SVLK," ungkap Juliatmono saat ditemui Okezone terpisah.
Namun, ibarat setali dua uang, seperti halnya bupati yang tak tahu apa itu SVLK, Kepala Badan Pengelolaan Perizinan Satu Atap Bahtia pun tak tahu apa itu SVLK.
Sebab, di lembaganya tidak ada itu pengurusan izin untuk mendapatkan SVLK. Yang ada di instansinya hanyalah HO, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) saja.
"Itu aturan baru ya. Kami belum dapat sosialisasinya. yang ada di kami hanyalah HO, SIUP TDP saja. Kalau izin untuk mengurusi SVLK tidak ada," ungkap Bahtiar.
Sementara itu di sisi lain, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai harga mati untuk legalitas kayu asal Indonesia. Selain merupakan aturan harga mati dari negara-negara Eropa, SVLK diharapkan mampu menekan kerusakan hutan akibat terjadinya pembalakan liar dan pasar gelap kayu.