Istri mendiang Kapten Abubakar dan empat anaknya pun berusaha memprotes aksi ini ke kantor Kapten Blume di Enrekang. Tapi protes itu tak didengarkan dan malah, istri mendiang Kapten Abubakar dijebloskan ke bui selama beberapa hari.
“Kami semua sangat sedih dan marah. Tapi apa yang bisa kami perbuat terhadap tentara Belanda?,” Malik, putra Kapten Abubakar mengisahkan lewat surel yang dikirimkan cucu sang kapten, Ricky Malik (55).
Blume sendiri setelah perang, bisa hidup “dengan tenang” di Belanda dan tutup usia di Den Haag, pada 1972 dengan bergelimang dua medali kehormatan, “Bronzen Kruis”.
Sementara mendiang Kapten Abubakar Lambogo, setidaknya diakui Presiden RI pertama, Soekarno yang memberi Kapten Abubakar gelar “Pahlawan Nasional” pada 1958. Pun demikian, putra sang kapten tetap menggugat dan menuntut permintaan maaf Belanda.
“Saya ingin mereka (pemerintah Belanda) mengakui bertanggung jawab atas aksi-aksi ini, di mana hal itu dilakukan di periode kolonial dan sangat berlawanan dengan Konvensi Jenewa,” cetus Abubakar Malik.
“Jika kakek saya sebagai tahanan diperlakukan secara manusiawi, mungkin dia akan masih hidup. Dia masih akan bertugas di ketentaraan, dia masih akan dihormati di Enrekang dan mungkin bisa berkontribusi lebih kepada negara ini,” timpal Ricky Malik.
(Randy Wirayudha)