Palagan itu sendiri berlangsung sengit dan terjadi hingga 15 Desember, di mana sekutu terjepit dari arah barat dan selatan. Terpaksa, sekutu pun pontang-panting mundur ke timur, tepatnya ke Semarang tanpa bisa membawa mayat-mayat serdadunya.
Dari sini, kira-kira apa yang bisa kita pelajari? Pengaruh dari palagan ini sendiri terbilang kecil sebenarnya, baik secara militer maupun politis.
Namun di balik itu, tentara republik sejak saat itu hingga masa revolusi berakhir pada 1949, bisa belajar manajemen operasi lapangan, logistik, serta kesehatan yang terpadu. Dari sini pula mulai tumbuh kemanunggalan tentara dengan rakyat.
Makanya sejak saat itu pula, setiap tanggal 15 Desember acap diperingati sebagai Hari Infantri dan baru pada 1999 lewat Keppres RI Nomor 163, Hari Infantri diganti jadi Hari Juang Kartika.
Di Lapangan Pangsar Jenderal Soedirman, Ambarawa pada 15 Desember 2016 lalu, Hari Juang Kartika ini diperingati secara besar-besaran. Selain apel, parade dan atraksi terjun payung, dihelat pula sosiodrama kolosal yang diramaikan sejumlah komunitas reka ulang se-Pulau Jawa.
Pada sosiodrama yang dihelat Kodam IV/Diponegoro ini selain diikuti para personelnya, diramaikan pula para reenactor (pereka ulang) Djokjakarta 1945, Magelang Kembali, Historia van Bandoeng, Semarang Historical Community, Roode Brug Soerabaia, Front Bekassi, Jakarta, Malang, Temanggung hingga Trenggalek.
Yang tambah membuat decak kagum jajaran TNI AD, termasuk KSAD Jenderal TNI Mulyono serta masyarakat yang hadir menonton, adalah diikutsertakannya tank ringan Stuart dari era Perang Dunia II, serta dua pesawat KT-1B Wongbee dari Jupiter Aerobatic Team TNI AU!