Namun, sejak diberlakukannya bebas visa masuk ke Indonesia, banyak warga Timor Leste yang berkunjung ke negara tetangganya itu. Begitu pula sebaliknya. Terutama pelajar yang bersekolah di Indonesia. Mereka setiap hari keluar masuk Indonesia.
“Dalam sehari 600–700 orang masuk dan keluar lewat perbatasan Motaain. Sedangkan dari enam pos imigrasi di perbatasan Indonesia-Timor Leste, rata-rata dalam sehari lebih dari 1.000 orang melintasi batas kedua negara,” kata Kurnadie, kepala Imigrasi Kelas II Atambua, Belu, NTT.
Menurut dia, sepanjang 250 kilometer di garis perbatasan darat, kedua negara menyepakati adanya sembilan pos imigrasi. Namun, yang aktif baru enam pos. Tiga lainnya belum diaktifkan pihak Timor Leste.
Tiga di antara enam pos berada di Kabupaten Belu. Tiga pos lain berlokasi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT. Di Belu, Pos Motaain berbatasan dengan Batugade. Selain itu, Pos Turiskain di pantai utara Pulau Timor berbatasan dengan wilayah Bobonaro dan Pos Malaka berbatasan dengan Suai di pantai selatan. Di wilayah TTU, pos berada di Napan, Wini, dan Haumeniana yang berbatasan dengan Ambeno, Oecussi.
Kurnadie mengatakan, dibukanya pos perbatasan delapan jam sehari bukan harga mati. Artinya, pihak imigrasi juga mengakomodasi kepentingan pemerintah Timor Leste bila melewati perbatasan di luar waktu tersebut. ”Pernah rombongan Xanana Gusmao mau ke Kupang, sudah pukul 20.00. Kami tetap melayani. Sebab, sebelumnya memang sudah ada permintaan khusus,” tuturnya.
Dia mengakui, pelanggaran perbatasan lebih sering dilakukan warga Timor Leste daripada warga Indonesia. Sebab, terkadang mereka melintas tanpa membawa dokumen yang diperlukan. Tak terkecuali para mahasiswa yang seenaknya keluar masuk Indonesia tanpa paspor.