SEBAGAI bekas provinsi ke-27 Indonesia, Timor Leste (dulu Timor Timur) masih sangat bergantung pada negara kita. Bukan hanya kebutuhan bahan makanan, interaksi warga kedua negara memiliki intensitas tinggi.
Manuel Borges (26), warga Batugade, Distrik Bobonaro, Timor Leste, tak tertarik menjadi pegawai negeri atau swasta. Sebab, dengan pekerjaannya sekarang, setiap hari dia bisa mendapatkan puluhan dolar AS (USD) hanya dengan mengangkut barang di perbatasan Timor Leste-Indonesia.
Ya, Manuel yang tinggal di dekat garis perbatasan dua negara itu setiap hari menyediakan jasa mengangkut barang dari Batugade menuju Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya hanya 500 meter. Tujuan akhirnya adalah sebuah jembatan kecil yang menjadi tanda batas kedua negara.
Manuel akan mengangkat barang pelintas batas dari pos imigrasi Timor Leste menuju pos pemeriksaan imigrasi Indonesia. Di atas jembatan itulah barang akan diestafetkan kepada rekannya dari Indonesia yang akan membawa masuk ke Motaain. Umumnya, mereka saling kenal dan memahami aturan tak tertulis soal batas kerja masing-masing.
“Kawan-kawan dari Indonesia tak boleh melewati pos imigrasi Timor Leste. Jadi, kami jemput orang atau barang itu untuk kami bawa masuk ke wilayah Timor Leste,” kata Manuel seperti mengutip Jawa Pos, Minggu (26/3/2017).
Setiap hari mereka bekerja bak pegawai imigrasi. Mulai pukul 09.00 hingga pukul 17.00 atau selama delapan jam kerja. Untuk sekali angkut, mereka menarik tarif USD2–3. Dalam sehari, mereka bisa mengangkut barang 10–15 pelintas batas.