Cerita yang sama diungkapkan Julius (22), warga Silawan, yang tak jauh dari pos utama imigrasi di Motaain. Dalam sehari, dia bisa mengangkut 4–5 penumpang yang baru saja menyeberang dari Timor Leste ke Atambua, ibu kota Belu, yang berjarak 25 kilometer. Sekali angkut Rp60 ribu.
“Kalau pintu perbatasan tutup, baru kami pulang. Itu berarti kerja kami sudah selesai,” ujarnya.
Yang menggunakan jasa Manuel umumnya penumpang bus yang tidak melewati perbatasan ke Indonesia. Bus jurusan Dili menuju Kota Maliana, Bobonaro, juga mengangkut penumpang yang akan turun di Batugade. Penumpang yang bakal menuju Atambua turun di pos perbatasan itu dan menyeberang ke Motaain dengan berjalan kaki. Penumpang yang membawa barang itulah yang menjadi sumber pendapatan Manuel dan sejumlah kawannya yang mengais rezeki di daerah perbatasan.
Mereka tak harus membawa paspor karena sudah dikenal sebagai pekerja di kawasan itu. Selain barang bawaan, Manuel akan mengantar pekerja asal Belu yang mau pulang kampung dengan menggunakan sepeda motor dari Timor Leste. Sebab, pelintas batas tidak boleh membawa masuk sepeda motor dari Timor Leste ke wilayah Indonesia atau sebaliknya.
Maka, baik di Batugade maupun di Motaain, banyak juga rumah yang menyediakan jasa penitipan sepeda motor untuk para pelintas batas. Ongkosnya USD5 untuk waktu titip 2–3 hari. Tenaga angkut barang dan ojek menjadi pilihan bagi pelintas batas yang ingin menyeberang ke Indonesia maupun ke Timor Leste.
Kendaraan umum dari Timor Leste yang akan masuk Indonesia dikenai biaya USD35. Sama dengan biaya visa on arrival Timor Leste. Sementara itu, kendaraan pemerintah hanya dikenai USD 20. Tapi masih ditambah biaya operasi yang dikeluarkan kepolisian perbatasan. Sedangkan kendaraan dari Indonesia yang masuk ke Timor Leste sudah tidak dipungut biaya.