“Dia itu Belanda, orang badannya gede tinggi begitu, kulitnya putih. Ada tiga orang, tapi yang punya kemampuan (militer/angkat senjata) cuma satu. Yang dua enggak bisa dan cuma dijadiin pesuruh aja sama Kiai,” kisahnya lagi.
“Awalnya mau kita matiin itu. Tapi kata Kiai: ‘Dia kan sama-sama manusia seperti kita. Jangankan dibunuh, dicolek aja enggak boleh’. Terus yang satu itu yang punya kemampuan (militer), dijadiin mualaf dikasih nama Mustofa sama Kiai. Selebihnya, kita berantem (berperang/bergerilya) bareng-bareng sama dia itu,” tandas engkong Mursal.
Engkong Mursal walau hanya berstatus laskar di masa perjuangan, setidaknya masih dapat tunjangan veteran bulanan, sebagaimana para pejuang lainnya asal Babelan berkat H Wardi, salah satu keponakan KH Noer Ali yang berkenan mengurus tunjangan mereka.
Perpisahan serasa tak lengkap kalau tidak berfoto dengan salah satu penyabung nyawa demi negara kita yang sudah merdeka ini. “Et dah, masak foto sama orang tua,” cetusnya saat kami minta berfoto dengannya.
“Lha iya, kong. Justru sama pejuang petarung begini kita senang dan bangga bisa berfoto bareng,” timpal Beny seraya mengancingkan kemeja engkong H Mursal jelang berfoto.
(Randy Wirayudha)