KAWASAN Teluk Persia bergejolak. Secara tiba-tiba Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Langkah tersebut diikuti oleh Mesir, Libya, Yaman, dan Maladewa. Doha dalam beberapa hari terakhir menjadi musuh bersama di kawasan Timur Tengah.
Mereka menuduh Qatar mendukung kelompok-kelompok militan seperti Al Qaeda dan ISIS. Tuduhan dilancarkan setelah muncul pemberitaan kantor berita QNA yang memuat pidato Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad al Thani tentang Israel dan Iran.
Emir kedelapan Qatar itu mengatakan, relasi dengan Israel dan Iran sangat baik. Teheran disebutnya adalah kekuatan Islam terbesar di kawasan Timur Tengah yang tidak bisa dihiraukan begitu saja. Komentar tersebut sangat fatal mengingat Iran adalah rival Arab Saudi di kawasan.
Benar saja, Arab Saudi menggunakan pengaruhnya untuk menekan Qatar lewat Asosiasi Negara-Negara Teluk (GCC). Diplomat serta diaspora Qatar diminta segera meninggalkan negara-negara tersebut dalam waktu 48 jam. Kawasan memanas.
Pemerintah Qatar menolak tuduhan tersebut. Mereka menyatakan situs resmi kantor berita QNA mengalami peretasan demikian pula halnya dengan akun Twitter resmi Menteri Luar Negeri Syeikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al Thani. Namun, semua sudah terlambat.
Gangguan Lintas Sektoral
Pemutusan hubungan diplomatik tersebut berdampak luas dalam segala segi kehidupan. Segala bentuk kerjasama yang terjalin antara Arab Saudi dengan Qatar terganggu. Riyadh dan Doha selama ini berbagi jalur perdagangan darat yang sama.
Qatar juga diketahui mengimpor banyak barang dari negara-negara Teluk. Sebagai contoh, Qatar mengimpor bahan pangan dari Arab Saudi. Menurut laporan BBC, sekira 40% stok pangan di Qatar dipasok melalui jalur perdagangan darat yang melintasi perbatasan Saudi-Qatar. Dengan penutupan perbatasan, maka Qatar kini mengandalkan jalur laut dan udara.
Pemutusan hubungan diplomatik juga mengganggu arus ekspor. Qatar selama ini gencar mengekspor mesin, peralatan elektronik, dan transportasi lainnya lewat Saudi. Nilai kerjasama kedua negara mencapai USD896 juta atau Rp12 triliun pada 2015.
Selain ekspor-impor, terganggunya hubungan kedua negara berdampak pada penutupan kantor media Al Jazeera, media terkemuka yang berkantor pusat di Doha. Selain itu, rute penerbangan dari dan menuju Doha juga ditutup oleh Bahrain, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Maskapai Qatar Airways tidak diperkenankan mendarat dan melewati wilayah udara negara-negara tersebut.
Dampak dalam jangka panjang yang mungkin dirasakan Qatar adalah terhambatnya sektor konstruksi. Sebagaimana diketahui, Qatar didaulat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Pembangunan fasilitas umum penunjang dan stadion-stadion tengah digencarkan. Namun, pasokan material yang sebagian besar diimpor dari Arab Saudi terhambat sehingga proyek menjadi kacau.
Pasang Surut Teluk
Sejarah hubungan diplomatik Qatar dengan negara-negara di kawasan mengalami pasang surut sejak 2011. Merebaknya gejala Arab Spring mengawali perseteruan tersebut. Qatar diketahui mendukung organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang menggulingkan mantan Presiden Hosni Mubarak.
Dukungan Qatar dibuktikan dengan adanya memberikan bantuan kepada IM. Organisasi tersebut diketahui dilarang eksistensinya oleh Arab Saudi dan Mesir karena dianggap sebagai gerakan separatis. Negara Teluk meminta Qatar mengubah kebijakan luar negerinya dengan memutus bantuan ke IM pada Maret 2014.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya November 2014, Arab Saudi; Bahrain; Mesir; dan UEA menarik duta besar mereka dari Qatar selama beberapa bulan. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes atas intervensi yang dilakukan Doha dalam hubungan bilateral antar negara.
Qatar sendiri seakan tidak peduli dengan pemutusan hubungan diplomatik tersebut. Berpenduduk mencapai 2,7 juta jiwa, Qatar adalah salah satu negara terkaya di kawasan. Minyak bumi dan gas alam menjadi penyumbang terbesar devisa negara.
Menurut data Bank Dunia, produk domestik bruto (GDP) Qatar pada 2015 mencapai USD164,6 miliar atau setara dengan Rp2.188 triliun. Dari data yang sama, pendapatan per kapita Qatar mencapai 83.990 dolar Amerika Serikat (AS) atau senilai dengan Rp1,1 miliar dan angka harapan hidup 79 tahun bagi laki-laki serta 78 tahun bagi perempuan.
Indonesia Terkena Dampak
Tegangnya suatu kawasan tentu saja berdampak luas hingga ke kawasan lainnya, termasuk Indonesia. Dampak paling terasa dari isolasi Qatar untuk saat ini adalah terganggunya lalu-lintas jamaah umrah. Warga Indonesia yang terlanjur menggunakan pesawat Qatar Airways untuk menuju Arab Saudi mau tidak mau harus mengganti rute penerbangan mereka.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per 2016, Qatar hanya merealisasikan satu proyeknya di Indonesia. Sementara menurut data Kementerian Perdagangan, tren nilai perdagangan antara Indonesia dengan Qatar menurun dalam lima tahun terakhir. Sempat mencatatkan nilai USD1,688 miliar pada 2012, nilai perdagangan kedua negara pada 2016 ada di angka USD914 juta.
Kendati demikian, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyampaikan keprihatinan terhadap situasi di kawasan Timur Tengah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menyampaikan, pemerintah berharap semua pihak dapat menahan diri dan mengedepankan dialog, serta semangat rekonsiliasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.
“Indonesia menekankan kembali semua negara untuk menghormati prinsip hubungan internasional, seperti saling menghormati kedaulatan masing-masing negara dan tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain,” ujar Arrmanatha kepada Okezone.
Kuwait Siap Mediasi
Di antara negara-negara yang berada di Teluk Persia, hanya Kuwait yang tidak ikut terseret dalam perselisihan tersebut. Kuwait City mengaku siap untuk menjadi mediator dalam krisis diplomatik yang dianggap terburuk di kawasan Teluk Persia sejak perang AS dengan Irak pada 1991.
Menteri Luar Negeri Qatar Syeikh Mohammed bin Abdulrahman al Thani mengatakan, penguasa Kuwait telah meminta Emir Syeikh Tamim bin Hamad al Thani untuk menahan diri agar tidak memberikan pidato apa pun terkait krisis ini.
“Dia menerima telepon dari Emir Kuwait yang memintanya untuk menunda pidato agar memberi waktu untuk menyelesaikan krisis,” kata Syeikh Mohamed bin Abdulrahman, mengutip dari Associated Press.
Ia menambahkan, negaranya sangat siap untuk duduk dan berbicara dalam mengatasi krisis diplomatik ini. Mengutip dari CNN, Syeikh Mohamed bin Abdulrahman mengatakan negara yang modern dan progresif percaya diplomasi adalah jalan keluar terbaik.
(Rifa Nadia Nurfuadah)