Mereka bekerja dengan kerendahan hati dan rasa hormat. Christine dan Lea juga tak menunjukkan minat terhadap dunia luar dan hanya menghabiskan waktu berdua. Tahun demi tahun berlalu tanpa ada satu pun insiden. Tetapi tepat pada 2 Februari 1933, sebuah insiden mengerikan mengejutkan Rene, sang tuan rumah.
Malam itu seharusnya Rene makan malam bersama dengan sang istri dan teman-teman di kediamannya. Sayangnya ketika ia pulang, Rene menemukan seluruh lampu rumahnya padam. Ia hanya melihat secercah cahaya lilin yang nampak dari ruang tidur Papin bersaudara. Selain itu, seluruh pintu rumah juga dalam kondisi terkunci.
Rene kemudian pergi ke kantor polisi untuk meminta bantuan agar bisa masuk ke rumahnya. Namun, setelah pintu terbuka, Rene menemukan anak dan istrinya telah tewas. Mereka dibunuh dengan cara paling brutal yang pernah ada. Wajah mereka hancur dan bahkan bola mata orang-orang yang Rene cintai itu dicungkil dan tak berada di tempatnya.
Sementara itu, Christine dan Lea ditemukan di dalam kamar mereka dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa ragu, keduanya langsung mengaku sebagai pelaku pembunuhan dengan sangat tenang dan tanpa sedikit pun raut penyesalan di wajah mereka. Segera polisi mengumpulkan bukti alat pembunuhan berupa pisau dapur, palu dan panci timah.
Christine dan Lea kemudian dipenjara secara terpisah. Saat itu, Christine menjadi depresi dan tertekan karena terpisah dengan saudaranya. Hingga pada suatu saat, ia diizinkan untuk menemui Lea. Christine pun langsung melompat ke pelukan Lea dan dari percakapan keduanya tersirat jika sepasang saudara kandung itu menjalin hubungan asmara terlarang.
Beberapa bulan kemudian, kegilaan Christine semakin parah. Dia mencoba mencungkil matanya sendiri. Padahal saat itu persidangan kasusnya akan segera dimulai. Kala itu, seluruh warga Prancis menaruh perhatian terhadap kasus Papin bersaudara. Bahkan kasus ini menarik perhatian dari para kaum terpelajar yang mengkaitkan perilaku Panpin bersaudara dengan aksi pemberontakan para kaum budak.