Sesuai studi teknis dan ketentuan yang ada bila nantinya transportasi publik telah memenuhi mobilitas masyarakat, konsekuensinya roda dua berada di luar jalur protokol atau jalur ERP. "Kita masih konsen pada aturan jenis kendaraan apa saja yang diizinkan melalui ruas jalan berbasis elektronik," ucapnya.
Dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PP No 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas, dan Perda No 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, sepeda motor tidak masuk jenis kendaraan yang diperbolehkan melintasi ERP.
Berbicara aksesibilitas kesetaraan yang menjadi alasan pencabutan larangan roda dua, sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya melalui inventarisir pintu masuk samping dan belakang gedung sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Hasilnya hanya lima gedung yang belum memiliki pintu samping dan belakang.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Safrudin mengatakan, sepeda motor memang tidak bisa dipungut tarif ERP karena tidak diatur dalam UU, PP, perda ataupun pergub. Namun, itu merupakan kesalahan mengingat pembatasan kendaraan harus equal, tidak memihak kendaraan tertentu atau kelompok miskin dan kaya. Solusinya tarif yang dikenakan harus dihitung berbeda.
Untuk itu, PP tentang manajemen rekayasa lalu lintas perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar direvisi melalui judicial review. Menurut dia, judicial review bukanlah sesuatu yang haram terhadap UU atau PP yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan. "Kalau dipaksakan ya terjadi diskriminasi. Motor atau mobil sama-sama membayar pajak, tapi kenapa hanya motor yang dibatasi,” ujarnya.
(Angkasa Yudhistira)