JAKARTA - Sejumlah organisasi masyarakat menawarkan kandidat dari kelompok disabilitas dan masyarakat adat sebagai "pilihan alternatif" di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
Selain mendorong keterwakilan dua kelompok minoritas tersebut di jajaran pembuat keputusan, usulan ini diharapkan bisa mengurangi sikap tidak memilih atau 'golput' pada 17 April mendatang.
Pemilihan umum merupakan kesempatan bagi kelompok-kelompok rentan untuk memperjuangkan kesetaraan, menurut seorang pengamat pemilu.
Dari berbagai partai politik
Menurut catatan Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas, ada 55 calon legislatif (caleg) yang merupakan penyandang disabilitas di Pemilu 2019 — namun yang terdata lengkap baru 35 calon.
Mereka tersebar di sejumlah daerah pemilihan (dapil), dari Aceh sampai Papua.
April Syar, pegiat Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas, mengatakan bahwa pada periode pemilu kali ini lembaganya mulai membujuk partai-partai politik agar mengusung calon anggota legislatif (caleg) dari kelompok disabilitas.
"Dan ternyata mereka merespons itu, dan mereka bertanya cara-cara rekrutmennya bagaimana," ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Terlepas dari partai politik yang mengusung mereka, para calon tersebut diharapkan bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah "kompleks" yang dialami kelompok disabilitas jika kelak terpilih.
"Jadi apa pun parpolnya, caleg disabilitas pilihannya," kata April. "Artinya, biarlah mereka masuk ke DPR atau DPD atau DPRD tapi mereka pun harus betul-betul ingat. Jangan sampai kacang lupa kulitnya."
Keterwakilan juga menjadi alasan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan 157 caleg utusan masyarakat adat yang juga tersebar di berbagai partai politik.
Perinciannya, 107 di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, 26 di DPRD Provinsi, 14 di DPR-RI, dan sembilan di DPD.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi menjelaskan bahwa para calon tersebut dipilih oleh komunitas adat melalui musyawarah. Syarat menjadi calon antara lain sudah sepuluh tahun bekerja bersama masyarakat adat atau minimal lima tahun bagi calon muda.
Amanat untuk para caleg itu hanya satu: membuat peraturan daerah (perda) yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
"Karena dari adanya Perda, kita sudah membuka jalan untuk hal yang lebih baik, memperbaiki situasi masyarakat adat misalnya pembangunan di wilayah adat, memperkuat kelembagaan, mendapatkan pengakuan hutan adat itu butuh perda," kata Rukka.
Menurut Rukka, kebijakan yang merampas hak masyarakat adat terjadi ketika mereka tidak hadir dalam pengambilan keputusan, baik secara fisik maupun gagasan.
Perempuan itu menjelaskan, AMAN telah terlibat aktif dalam Pemilu sejak 2009. Berdasarkan pengalaman, partai yang menang dalam pemilu tidak begitu berpengaruh pada kebijakan tentang masyarakat adat.
"Partai tidak terlalu relevan," kata Rukka, "karena yang relevan di situ adalah ketika ada orang-orang yang mau menggerakkan, yang mau menangkap bola itu dan membuatnya menjadi besar dan menjadi kebijakan."