PADANG - Kalau sekilas Masjid Raya Belimbing yang terletak di Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, berbentuk sederhana dengan atap berundak lima berbentuk empat persegi lancip, tanpa kubah.
Bentuknya juga sudah kusam, tidak ada tanda renovasi, tonggak, kaca masjid tersebut serta atap tampak gersang seperti dimakan usia. Di bagian luar arah kiblat ada beberapa makam yang juga sudah bersemak.
Baca Juga:Â Misteri Masjid Tiban di Desa Tanggan SragenÂ
Menurut tokoh masyarakat pengikut Tarekat Syattariyah, Darmawi (62), masjid ini dibangun sekira tahun 1920 dan selesai pada tahun 1945, masjid ini dibangun secara swadaya oleh lima kaum suku yang ada di daerah tersebut.
“Masjid ini merupakan masjid kedua tertua dari Tarekat Syattariyah yang ada di Kota Padang, dan masjid ini juga masih mempertahankan bangunan aslinya dan tidak boleh direnovasi,” kata Darmawi kepada Okezone.
Darmawi menerangkan, renovasi boleh dilakukan tapi harus kesepakatan dari lima kaum yang membangun masjid tersebut. Misalnya rusak karena lapuk dan rusak akibat gempa itu baru boleh diperbaiki. “Kalau tidak, nanti heboh orang sekampung,” tutur Darmawi.
Â
Menurutnya Masjid Raya Belimbing ini merupakan masjid yang masih asli dari awal meskipun bagian dalamnya sudah pernah direnovasi akibat gempa 2009 lalu. “Dulu ada sedikit direnovasi karena bagian dindingnya retak akibat gempa,” ucapnya.
Darmawi menuturkan masjid ini merupakan masjid nomor dua tertua untuk penyebaran tarekat Syattariyah, masjid pertama dibangun di Kalumbuk, kemudian Masjid Raya Belimbing dan ketiga di Pauh.
“Tapi dua masjid di Kalumbuk dan Pauh itu sudah dibongkar dan dibangun yang baru, tapi masjid di sini yang masih bertahan dengan arsitek aslinya, kata suku yang membangun ini tidak boleh dipugar karena ini yang tersisa dari yang lain. Bahkan dosen-dosen dan mahasiswa juga pernah kesini meneliti banguna masjid tersebut,” urainya.
Atap bertingkat lima ini juga memiliki makna, menurut Darmawi, atap tersebut dibangun oleh lima kaum suku, yaitu Suku Chaniago, Melayu, Tanjuang, Koto dan Jambak. “Dulu kaum ini yang membangun masjid ini, maka itulah maknanya atap bertingkat lima,” ujarnya.
Â
Kemudian jika masuk ke dalam masjid, dinding bagian atas majid ini bertuliskan bahasa Arab, menurut Darmawi, itu merupakan khotbah. Sebab kalau menyampaikan khotbah itu memakai bahasa Arab. Bagian paling depan ada mimbar tempat berkhotbah berupa jenjang penuh ukiran. “Nanti di situ khatib akan berkhotbah memakai tongkat dan sorban seperti Rasulullah bahkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab,” sambungnya.
Baca Juga:Â Unik! Ibu-Ibu Mandikan Anaknya di Masjid Kuno Klaten saat Salat Jumat BerlangsungÂ
Masjid Raya Belimbing ini memiliki dua lantai, lantai kedua tempat mengaji dan menginap gharin masjid. Sedangkan, di bagian atap itu ada 13 tonggak utama.
“Ada sembilan tonggak atap penyokong atap tingkat lima ini, maknanya adalah daerah ini merupakan Nagari Pauh Sembilan yang terdiri tepian yaitu Ampang, Anduring, Gunung Sarik, Kalumbuk, Korong Gadang, Kuranji, Lubuk Lintah, Pasar Ambacang, dan Sungai Sapih dan empat tonggak utama dengan simbol Imam, Khatib, Bilal dan Gharin, jika dijumlahkan semuanya ada 13 tonggak,” terangnya.
Sementara bagian belakang masjid ini atau pintu masuk ini merupakan sebuah sungai kecil dengan lebar sekira 6 meter, biasanya sungai tersebut dipakai untuk berwudhu saat hendak salat.
Baca Juga: Aksi Nyata 50 Tahun Hidupkan Inspirasi, Indomie Fasilitasi Perbaikan Sekolah untuk Negeri
Follow Berita Okezone di Google News
(fid)