Ketika suatu perkara yang sudah diputus di tingkat judex facti diajukan ke MA maka MA sangat paham bahwa hal itu merupakan konfirmasi bahwa putusan di tingkat judex facti itu bermasalah dari kacatama pencari keadilan sehingga perlu ditinjau kembali. Maka tugas MA adalah menyibak kebenaran terhadap putusan judex facti dimaksud agar dapat menghadirkan keadilan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Tujuan diajukannya suatu upaya PK adalah untuk mencari keadilan, baik dari sisi formil maupun meteriil. Maka MA berkewajiban untuk meninjau ulang putusan dimaksud untuk memastikan apakah putusan itu sudah sesuai dengan semua aturan perundang-undangan. MA tidak memerlukan nasihat, apalagi desakan, dari pihak manapun sebab ia independen dan berdaulat penuh untuk memutus sesuai keyakinan dan penilaian para Hakim Agung terhadap interpretasi hukum yang digunakan di tingkat judex facti.
Ketika suatu perkara PK kasus korupsi disidangkan di Pengadilan Negeri maka di situlah tempatnya untuk jaksa KPK mengajukan pendapatnya terhadap memori PK yang diajukan. Dalam mekanisme PK, negara tidak menyediakan wadah lain selain sidang tersebut, dan tidak pula membenarkan adanya intervensi dari pihak manapun di luar wadah ini untuk mempengaruhi proses PK yang diadakan di MA.
Ketika proses persidangan PK, yang merupakan proses administratif, ini sudah dirampungkan dan hasilnya dikirim ke MA, maka hak jaksa KPK maupun terpidana yang mengajukan PK sudah berakhir. Dua pihak ini tidak dibenarkan untuk mengintervensi MA yang akan memutus perkara PK dimaksud. Maka secara hukum tidak dibenarkan adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk ICW, KPK, atau pun lembaga lain, untuk mendesak MA agar memutus sesuai kehendak mereka.
Maka apabila hasil persidangan PK sudah dikirim ke MA, dengan sendirinya KPK dan terpidana sama-sama tidak berhak lagi untuk bermanuver dengan cara apapun untuk mempengaruhi MA. Sebab manuver demikian merupakan pelecehan terhadap kekuasaan tertinggi kehakiman (contempt of Supreme Court). Dengan pemahaman demikian maka manuver-manuver dari pihak manapun, termasuk ICW, tidak dibenarkan karena melanggar ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Desakan ICW agar MA menolak upaya PK yang diajukan Anas Urbaningrum, Irman Gusman, dan OC Kaligis merupakan perbuatan yang di luar batas, karena selain tidak percaya pada profesionalisme para Hakim Agung, juga melecehkan independensi dan kedaulatan MA sebagai pemegang otoritas tertinggi di ranah kekuasaan kehakiman yang tak boleh diganggu. Padahal PK adalah hak terpidana dan hak ini dijamin oleh undang-undang.
Desakan serupa pernah juga dilakukan oleh jurubicara KPK Febri Diansyah yang meminta MA agar segera memutus upaya PK yang diajukan Irman Gusman dengan cara menolak mentah-mentah semua argumentasi dalam memori PK yang diajukan oleh penasihat hukumnya yaitu Maqdir Ismail dan rekan-rekannya—justru pada saat hasil persidangan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah rampung dan dikirim ke MA, sehingga menimbulkan kesan kuat bahwa KPK sedang mempengaruhi MA untuk memutus sesuai kemauannya dan bukan sesuai pertimbangan yang adil dan benar yang dilakukan oleh MA.