Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Jangan Menggurui Mahkamah Agung

Opini , Jurnalis-Selasa, 04 Juni 2019 |12:35 WIB
Jangan Menggurui Mahkamah Agung
Dr Suparji Ahmad, SH, MH. (foto: Dokumen Pribadi)
A
A
A

Tindakan ICW dan KPK seperti diuraikan di atas tentu tidak sehat karena tidak menghormati independensi dan kedaulatan dari institusi tertinggi negara di ranah kekuasaan kehakiman. Tidak mengherankan mengapa guru besar hukum dari Universitas Diponegoro Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum katakan bahwa seharusnya ICW tidak mencampuri proses peradilan karena ICW bukanlah lembaga peradilan.

“ICW itu aneh. Apa gunanya upaya hukum bila memaksakan peradilan yang lebih tinggi untuk menolak suatu permohonan?” ujar Prof. Suteki. “ICW bukan pula lembaga pertimbangan” untuk MA sehingga tak boleh memaksakan kehendaknya kepada MA”, imbuhnya.

Sebagai sebuah LSM yang memperhatikan (watch) tindakan-tindakan korupsi, kata Prof. Suteki, ICW sebagaimana halnya LSM lainnya, hanya bisa memberikan masukan, tetapi tidak dibenarkan memaksakan kehendaknya dengan mengatakan bahwa MA harus menolak semua upaya PK yang diajukan oleh para terpidana pencari keadilan. Sebab tujuan diajukannya suatu PK adalah untuk mencari keadilan, artinya keadilan dalam perkaranya belum ditemukan sehingga perlu dicari di tingkat judex jures yang akan menguji putusan di tingkat judex facti.

Masyarakat masih percaya bahwa dalam memutus suatu perkara PK maupun kasasi, MA bertindak independen dan profesional, tanpa didikte oleh tekanan dari lembaga manapun, sebab putusan MA merupakan mahkota penegakan hukum yang final dan berkekuatan hukum tetap. Putusan MA juga merupakan pertanggungjawaban tertinggi terhadap sumpah jabatan para Hakim Agung kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa putusan dimaksud diberikan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”

Sehingga ketika di tingkat judex facti ungkapan agung itu digunakan tetapi dirasakan jauh dari rasa keadilan, maka di tingkat MA-lah frasa itu diberikan evaluasi terakhir bahwa putusan yang turun dari MA merupakan pertanggungjawaban tertinggi kepada Tuhan bahwa seorang terpidana pantas dikuatan hukumannya, ataukah pantas dikurangi masa hukumannya, atau juga harus dibebaskan dari semua dakwaan. Itulah yang dinamakan keadilan tertinggi di negara yang berdasarkan Pancasila ini dimana sila Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan, menjadi fondasi dari putusan kekuasaan kehakiman tertinggi.

Demi Keadilan Bedasarkan Ketuhanan yang Maha Esa itu pula, maka proses PK sama sekali bukanlah urusan menang-menangan. Bukan urusan memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Bukan urusan harus mengikuti tuntutan satu pihak dan mengabaikan yang lainnya. Ini adalah urusan mempertanggungjawabkan putusan pengadilan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa itu, dimana keadilan harus dihadirkan sesuai standar kebenaran, keadilan, dan kejujuran yang selaras dengan kehendak Tuhan.

Kalau penegak hukum dan pegiat antikorupsi benar-benar menyadari akan kebenaran ini maka tidak akan ada pihak manapun yang sacara sengaja mendesak-desak atau memaksakan kehendaknya yang subyektif itu untuk menghukum atau memberatkan hukuman terpidana pencari keadilan, melainkan mempertimbangkan semua aspek dengan hati-hati, benar, dan gentar di hadapan Tuhan yang Maha Benar dan Maha Melihat agar putusan yang diberikan tidak berlawanan dengan kehendak Tuhan.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement