Hingga akhirnya, keluarlah Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres tersebut dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002.
Inpres tersebut dikeluarkan berdasarkan Tap MPR Nomor 10/MPR/2001 dan Tap MPR Nomor 6/MPR/2002. Lantas, dari Tap MPR tersebut, keluarlah Surat Keterangan Lunas (SKL) yang tidak jelas asal-usulnya hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, dari total dana yang dikucurkan Bank Indonesia sebesar Rp144,7 triliun, menyebabkan kerugian negara hingga Rp138,7 triliun.
Dari data yang dikumpulkan, terdapat beberapa bank yang melakukan penyimpangan cukup besar dalam BLBI. Bank tersebut yakni, BDNI sebesar Rp24,47 triliun, BC sebesar Rp15,82 triliun, Bank Danamon sebesar Rp13,8 triliun, Bank Umum Nasional sebesar Rp5,09 triliun, dan Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar Rp3,66 triliun.
KPK Tetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai Tersangka Perdana
Setelah melewati penyelidikan yang cukup panjang, KPK akhirnya menetapkan mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI terhadap obligor BDNI pada 25 April 2017, silam. Syafruddin merupakan tersangka pertama di kasus ini.
Penetapan tersangka terhadap Syafruddin membawa prestasi bagi KPK di bawah naungan Agus Rahardjo Cs. Sebab, sudah bertahun-tahun, KPK baru meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dengan menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung.
Penyidikan terhadap Syafruddin dalam kasus ini dimulai. Langkah KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka merupakan gerbang awal untuk mengusut tersangka lainnya dalam kasus ini.
Saat itu, KPK menduga Syafruddin bertanggung jawab dalam kasus ini. Sebab, perbuatan Syafruddin dipandang oleh KPK telah memperkaya diri sendiri dan orang lain hingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun.