JAKARTA - Muslim Uighur yang ditahan di kamp-kamp di Xinjiang, China dipaksa makan daging babi setiap Jumat. Hal itu diungkapkan Sayragul Sautbay, seorang mantan penghuni kamp yang dibebaskan lebih dari dua tahun lalu.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Sautbay menceritakan perlakuan dan penghinaan lain yang dialami Muslim Uighur dan minoritas lainnya di kamp-kamp tersebut, termasuk paksaan untuk mengonsumsi daging babi.
BACA JUGA: Lembaga Australia Laporkan China Hancurkan Ribuan Masjid di Xinjiang dalam 3 Tahun
“Setiap Jumat, kami dipaksa makan daging babi,” kata Sautbay menceritakan pengalamannya dalam wawancara dengan Al Jazeera. “Mereka sengaja memilih hari yang suci bagi umat Islam. Dan jika Anda menolaknya, Anda akan mendapatkan hukuman yang berat."
Dia menambahkan bahwa kebijakan tersebut dirancang untuk menimbulkan rasa malu dan bersalah pada para tahanan Muslim. Sautbay mengatakan bahwa dia "sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata" emosi yang dirasakannya setiap kali makan daging babi itu.
“Saya merasa seperti saya adalah orang yang berbeda. Di sekitarku menjadi gelap. Sangat sulit untuk menerimanya, ”katanya.
Sautbay, seorang dokter yang kini tinggal di Swedia juga menceritakan pengalamannya dalam sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan. Di dalam buku itu, dia mengungkapkan secara detail mengenai penderitaan yang dialaminya, termasuk dipaksa menyaksikan pemukulan, dugaan pelecehan seksual dan sterilisasi paksa.
Kesaksian dari Sautbay dan lainnya memberikan indikasi tentang bagaimana China berusaha melakukan tindakan keras di Xinjiang dengan menyasar kepercayaan, budaya, dan agama dari sebagian besar etnis minoritas Muslim.
BACA JUGA: China Paksa Wanita Uighur Pakai Kontrasepsi untuk Tekan Populasi Minoritas Muslim
China telah menerapkan pengawasan luas di Xinjiang, dan sejak sekira 2017 membuka jaringan kamp di wilayah itu. Beijing membenarkan tindakan tersebut, dengan alasan diperlukan untuk melawan "ekstremisme".
Dokumen yang diperoleh Al Jazeera menunjukkan bahwa pembangunan pertanian juga telah menjadi bagian dari apa yang disebut oleh antropolog Jerman, yang juga cendekiawan Uighur, Adrian Zenz, sebagai kebijakan “sekularisasi”.
Follow Berita Okezone di Google News