Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Strategi Revitalisasi Seni Tradisi

Opini , Jurnalis-Rabu, 17 Februari 2021 |17:41 WIB
Strategi Revitalisasi Seni Tradisi
Foto: Istimewa
A
A
A

BULAN Oktober sampai November Makara Art Center UI bekerjasama dengan Direktorat Jendral Kebudayaan RI menyelenggarakan event “Apresiasi dan Gelar seni Tradisi”.

Ada tujuh kesenian; Dalupa dari Aceh, Randai dari Sumatra Barat, Mamanda dari Kalimantan Selatan, Tarling dari Cirebon/Indramayu, Wayang Topeng dari Madura, Ludruk dari Jawa Tumur dan Sarandaro dari Papua Barat, yang digelar secara daring dan diapresiasi oleh para ahli dalam event ini.

Bagi penulis, acara ini sangat strategis dan memiliki makna penting untuk dijadikan tonggak dalam merumuskan strategi kebudayaan Nasional Indonesia, sekaligus sebagai ajang melihat peran, fungsi, posisi dan nasib kebudayaan/kesenian tradisional.

Melalui event ini, kita bisa melihat bagaimana para seniman tradisional bergulat menghadapi berbagai tekanan di era global yang banyak diwarnai dengan budaya pragmatis dan materialis.

Catatan penting yang muncul dari para pakar, kritikus, pelaku seni dan budayawan yang menjadi apresiator acara ini adalah, saat ini kesenian tradisional berada pada titik nadzir.

Proses modernisasi dan globalisasi telah menggerus kesenian tradisional, sehingga banyak seni tradisi di beberapa daerah terancam punah, bahkan banyak yang sudah punah.

Di era hyper reality seperti sekrang ini, himpitan dan tekanan terhadap kesenian tradisional tidak semakin berkurang, sebaliknya justru semakin kuat. Saat ini ada dua arus utama yang menggencet kesenian tradisional dari dua arah secara bersamaan. Dari sisi kiri kesenian tradisioanal mendapat tekanan budaya modern yang kapitalistik dan komersial. Maraknya seni industri; sinetron, musik kontemporer, dan berbagai keseneian yang laku dan mendatangkan uang telah menggerus kesenian tradisional.

Seluruh ruang dan waktu yang tersedia telah dihabiskan untuk memajang kesenian modern yang komersial, melalui promosi yang gencar dan menawan. Akibatnya, dolanan tradisional anak-anak (jamuran, gobak sodor, cublak-cublak suweng dan dulu menghiasi malam setiap purnam) tidak lagi kita temukan. Tontonan tobong; ketoprak, ludruk, jathilan dan sebagainya terpinggir dan mengalami mati suri.

Dari sisi kanan, kesenian tradisional menghadapi hipitan dari gerakan formalisme agama (Islam). Kuatnaya arus fomalisme dan simbolisme agama (Arabisasi Islam) telah menyebabkan kesenian tradisional terpinggirkan. Kesenian tradisional dianggap abangan, tidak Islami, amoral dan stigma negatif lainnya. Sikap dan fatwa sebagian tokoh Islam yang negatif terhadap kesenian tradisional telah mempersempit ruang gerak dan ruang kreasi para seniman tradisional.

Dalam suasana yang terjepit seperti sekarang, para penggiat seni tradisi seperti berjuang sendirian. Beberapa diantara mereka mencoba bertahan dengan kemampuan seadanya. Berdasrkan pengakuan para pelaku seni tradisi yang ditampilkan dan diapresiasi di MAC, mereka bertahan dengan cara; pertama melakukan rekonstruksi dan aktualisasi seni tradisi.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement