KOREA UTARA - Timothy Cho dan Jihyun Park melarikan diri dari kelaparan, status sebagai tunawisma, dan penjara di Korea Utara (Korut). Kini keduanya bersaing sebagai kandidat dalam pemilihan lokal Inggris bulan ini.
Mereka disebut-sebut sebagai pembelot Korea Utara pertama dalam sejarah yang mencalonkan diri di negara demokratis selain Korea Selatan. Cho dan Park menceritakan kepada BBC tentang pelarian mereka yang berani, perjalanan sulit ke Inggris, dan alasan terjun ke politik Inggris.
Jihyun Park dengan adik laki-lakinya berdiri sembari menatap ke arah perbatasan China. Park melihat bahwa tidak ada lagi pilihan. Ayahnya sakit parah dan pamannya meninggal karena kelaparan.
Dia dihadapkan pada dua opsi: melarikan diri ke China atau mati kelaparan di Korea Utara.
Saat itu tahun 1998, dan Korea Utara tengah mengalami kelaparan nasional yang parah. Uni Soviet ambruk sehingga tidak lagi memberikan bantuan krusial. Total warga Korea Utara yang mati kelaparan tidak diketahui, tetapi perkiraan berkisar hingga tiga juta orang.
Melarikan diri tidak lantas membuat semuanya selesai dan bahagia.
Setibanya di China, Park dijual oleh pedagang manusia dengan harga sekitar Rp10 juta ke seorang petani untuk dipaksa menikah.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan banyak perempuan Korea Utara diculik dan dipaksa menikah dengan pria China, seperti Park.
Para perempuan itu pun menjadi terjebak karena jika tertangkap pihak berwenang, mereka akan dideportasi kembali ke Korea Utara.
(Baca juga: Tingkatkan Keamanan, Mesir Beli 30 Jet Tempur dari Perancis)
Selama hidup seperti budak dalam keluarga di China, Park melahirkan seorang putra dari suami yang pecandu alkohol.
Park dan anak laki-lakinya yang tinggal secara ilegal pun selalu bersembunyi agar tidak ditangkap dan dikirim kembali ke Korea Utara.
Namun, setelah lima tahun hidup sengsara, dia ditangkap oleh otoritas China dan dideportasi ke Korea Utara. Park dipisahkan secara paksa dari putranya.
(Baca juga: Australia Bakal Buka Kembali Penerbangan dari India Setelah 15 Mei)
China mendeportasi warga Korea Utara karena melihat mereka sebagai imigran gelap alih-alih pengungsi - meskipun Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951 telah melarang pemulangan pengungsi ke negara di mana mereka menghadapi risiko penganiayaan atau penyiksaan.
"Saya menderita karena terpisah dengan keluarga baik di Korea Utara dan China, dan saya tahu betapa menyakitkan itu," kata Park kepada BBC.
Pada tahun 2004, Park dideportasi ke Korea Utara dan dipenjara di kamp kerja paksa. Di sana dia mengalami penyiksaan dan penganiayaan.
Kondisi di kamp menyebabkan ia menderita penyakit gangrene yang parah - matinya jaringan tubuh akibat tidak mendapat pasokan darah- di kakinya. Park pun hampir mati dan tidak dapat bekerja, dia kemudian dibebaskan.
Di saat kesehatannya perlahan membaik karena bantuan orang asing, Park kembali memutuskan untuk mempertaruhkan nyawanya dengan menyebrang ke China - hatinya sakit melihat kondisi putra yang ditinggalkan.
Park memutuskan melarikan diri untuk kedua kalinya untuk dapat bersatu dengan putranya - yang telah ditelantarkan oleh keluarga suaminya.