Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt atas karuniaNya berupa kesempatan kepada kita untuk menuntaskan ibadah Ramadhan sebulan penuh. Yakni sebuah kesempatan untuk menempa diri dengan meningkatkan intensitas ibadah, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, dan meningkatkan solidaritas sosial.
Ramadhan adalah sekolah spiritual, sekolah kepribadian dan sekaligus sekolah sosial. Semoga kita semua bisa lulus sekolah multidimensi ini dengan nilai sempurna, yaitu nilai yang berasal dari Allah swt yang nanti akan kita ketahui saat kita berjumpa Al Khalik kelak.
Nilai yang baik dari Allah hampir pasti memberikan impact besar pada perubahan dan memberi manfaat untuk kehidupan kita di dunia. Mari kita rayakan idul fitri sebagai hari kemenangan.
Idul fitri adalah momentum kembalinya kepada fitrah: kesucian diri. Kesucian diri adalah modal untuk kita bergerak ke depan menjalani kehidupan. Kesucian bukanlah status yang statis, melainkan status yang dinamis karena kita kembali akan berdialektika dengan kehidupan nyata pasca Ramadhan.
Oleh karena itu, kita akan berharap bahwa dengan modal kesucian ini kita semakin jernih membedakan yang benar dan yang salah, memetakan keadaan dan terus proaktif memberikan solusi sehingga kita terus berada dalam rel kemajuan.
Kita harus hidup dalam rel kemajuan. Lebih-lebih hari ini kita dihadapkan pada dinamika perubahan yang cepat akibat disrupsi revolusi Industri 4.0. Dunia telah disulap dengan cepat dan semua menjadi mudah terkoneksi. Telah terjadi perubahan teknologi 4.0 yang sangat revolusioner dan membawa perubahan cara komunikasi, cara kerja, cara belajar, cara bisnis, cara berdakwah, dan cara hidup lainnya. Akibatnya, perlu kemampuan adaptasi terhadap perkembangan baru ini.
Ada ribuan pekerjaan hilang, namun muncul ribuan pekerjaan baru. Artinya, yang tidak bisa adaptif akan tertinggal zaman. Kita juga baru saja diuji adanya pandemi covid-19 yang hingga hari ini belum tuntas 100 persen, dan kini kita dituntut untuk bangkit melakukan pemulihan dan kembali fokus untuk terus membangun dengan cara-cara baru.
Situasi perubahan ini harus kita respons secara proaktif. Gerak perubahan ini harus kita cermati dan kita siapkan langkah untuk tidak sekedar beradaptasi tetapi kita juga harus hadir ikut merancang arah perubahan masa depan. Karena itu fokus pada kemajuan sudah menjadi keniscayaan.
Hidup harus terus bergerak. Allah berfirman dalam QS Al-Insyirah Ayat 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”. Artinya, kita diperintahkan untuk senantiasa dinamis menjalani kehidupan dengan terus bergerak ke depan dalam rel kemajuan.
Orientasi untuk bergerak maju tersebut didasari pada dua hal. Pertama, menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus memakmurkan dan sekaligus menjaga kehidupan dunia dari kerusakan (QS Hud: 61; QS Al Anbiya: 107; QS AlBaqarah: 30; QS Al Baqarah:11). Orientasi maju adalah konsekuensi dari tanggung jawab manusia yang memang diciptakan untuk menjaga bumi, karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang dikaruniai kelebihan daripada makhluk lainnya (QS Attiin:4; QS Al-Isra’: 70).
Kedua, sebagai bentuk syukur kita atas nikmat yang tak terhingga dari Allah Swt (QS An-Nahl ayat 4), baik nikmat kehidupan, nikmat akal, nikmat kemerdekaan, dan nikmat iman. Nikmat Allah kepada kita akan secara akumulatif membesar dan membesar manakala kita selalu mensyukurinya dengan jiwa dan tindakan nyata yang impactful.
Apabila kita bersyukur akan bertambah nikmatnya, sebagaimana QS Ibrahim ayat 7.Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Jamaah Idul Fitri yang berbahagia.
Islam adalah agama yang berisi nilai-nilai kemajuan. Hal ini tercermin dari beberapa orientasi yang diajarkan oleh Al-Quran dan Sunah Nabi.Pertama, orientasi sebagai pembelajar. Ayat yang pertama kali turun adalah "iqra" yang artinya membaca. Penguatan literasi ternyata menjadi fondasi dalam membangun masyarakat.
Namun demikian, membaca bisa dimaknai lebih luas tidak saja membaca teks tetapi juga membaca konteks. Text yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah sesuatu yang fix, sebagaimana Allah berfirman: "Dan Kami turunkan (Al-Qur'an) itu dengan sebenarnya dan (Al-Qur'an) itu turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami mengutus engkau (Muhammad), hanya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan." (QS Al-Isra: 105).
Dalam Al-Qur’an surat Al Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman: ''Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang menjaganya.'' Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Qur’an.”
Namun kehidupan bersifat dinamis karena dunia selalu mengalami perubahan, sehingga kita ditugaskan untuk terus menggali nilai-nilai yang terkandung dalam teks untuk diterapkan dalam berbagai konteks sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.
Mempelajari teks dan mengamati konteks adalah aktivitas pembelajaran yang luar biasa. Allah berkali-kali menyinggung dalam sejumlah ayat, "apakah kamu tidak berpikir?"
Apakah kamu tidak berakal? Dalam QS Ali Imran ayat 190-191 ditegaskan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi Ulil Albab (orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Sosok ulul albab adalah sosok pembelajar sejati, baik pembelajar atas fenomena alam, fenomena sosial, bahkan pembelajar atas wahyu yang diturunkan Allah Swt. Banyak kisah dalam Al-Qur’an yang harus menjadi bahan pelajaran untuk peringatan ke depan, dan hanya Ulul Albab yang mampu belajar dari Kisah-kisah tersebut.