Mereka mengatakan lelah ditolak untuk menjadi bagian dari sistem. Mereka ingin anggaran ditingkatkan untuk penyediaan mobilitas, terutama pemasangan lift di semua stasiun agar seluruh jaringan kereta dapat diakses oleh pengguna kursi roda.
Dari permukaan, aksi protes itu tampak sebagai persoalan infrastruktur dan belanja publik. Tetapi masalah sebenarnya lebih dalam dari itu. Bagi banyak pengamat, ini merupakan cerminan dari sikap orang-orang Korea Selatan terhadap penyandang disabilitas.
“Saya ditabrak oleh pengguna kereta, saya dibuntuti ke rumah. Kadang-kadang orang meneriaki kami,” terang Lee Hyung-sook, seorang demonstran yang telah menggunakan kursi roda sejak terinfeksi polio saat berusia tiga tahun.
“Mereka berkata, ‘kenapa kamu tidak tinggal di rumah saja?’ Ini bisa menjadi sangat menakutkan, tapi kami perlu terus berusaha agar orang-orang bisa memahami situasi kami. Kesenjangan antara hak penyandang disabilitas dan non-disabilitas di sini sangat besar,” lanjutnya.
Namun, simpati dari pada komuter tampaknya minim.
"Mengapa mereka membahayakan warga yang tidak bersalah?" tanya seorang lansia perempuan yang sampai melewatkan janjinya di rumah sakit.
“Saya rasa apa yang mereka lakukan itu salah,” ujarnya.
Dua perempuan muda lainnya yang sedang dalam perjalanan pulang dari kerja setuju bahwa meskipun menggelar aksi protes adalah wajar, namun menimbulkan masalah bagi orang lain tidak bisa diterima.
Tetapi Kyoung-seok mengatakan dia dan rekan-rekan aktivisnya tidak akan berhenti.