Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Cerita Warga Suriah di Eropa Meriahkan Ramadhan, Hias Rumah dengan Bulan Sabit hingga Lentera Ramadhan

Susi Susanti , Jurnalis-Selasa, 12 Maret 2024 |17:48 WIB
Cerita Warga Suriah di Eropa Meriahkan Ramadhan, Hias Rumah dengan Bulan Sabit hingga Lentera Ramadhan
Cerita warga Suriah di Eropa meriahkan Ramadhan, hiasi rumah dengan bulan sabit hingga lentera Ramadhan (Foto: Enab Baladi)
A
A
A

SURIAH – Bulan Ramadhan memiliki karakter khusus tersendiri di kalangan negara-negara Muslim, karena dikaitkan dengan spiritual, ritual sosial, dan praktik budaya yang berbeda dari satu negara ke negara lain.

Sekitar 13 tahun sejak dimulainya revolusi Suriah, jutaan pengungsi Suriah dan penduduk di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa, tidak lagi bisa merasakan suasana seperti ini.

Pengungsi Suriah telah tersebar di seluruh Eropa selama bertahun-tahun, dan banyak dari mereka merindukan pertemuan keluarga, mendengarkan adzan, dan suasana Ramadhan, yang mencerminkan perasaan mereka selama bulan ini.

Menurut keluarga pengungsi yang berbicara dengan surat kabar Enab Baladi, perasaan hilangnya detail intim dan pribadi di kalangan pengungsi telah memunculkan keinginan untuk menciptakan ritual baru yang memberi kompensasi dan membawa kegembiraan bagi jiwa mereka, serta menghubungkan kembali anak-anak mereka dengan tradisi dan nilai-nilai bulan suci, melalui alat sederhana.

Di negara-negara yang tidak memiliki budaya keagamaan atau ritual khusus seperti Ramadhan, dimana hubungan sosialnya berbeda dengan masyarakat Arab, Ramadhan tampaknya tidak jauh berbeda. Namun, kedatangannya membawa perasaan yang semakin kuat dalam diri para pengungsi, terutama mereka yang tinggal dan menghabiskan waktu lama di Suriah atau di negara-negara Islam, di mana suasana Ramadhan di gang-gang, pasar, dan rumah-rumah tidak pernah absen.

Sarah, 25, seorang wanita muda Suriah yang tinggal bersama keluarganya di kota Roden di Belanda selama lebih dari tiga tahun, mengatakan kepada Enab Baladi bahwa Ramadhan pertama yang ia habiskan di Belanda adalah yang paling sulit baginya.

Dia mengenak jika Ramadhan datang tak lama setelah dia mengungsi dan dia tidak terbiasa dengan lingkungan serta kebiasaan sehari-hari yang berbeda di kota serta jarak dari kehidupan sosial yang biasa dia jalani selama dia tinggal sebelumnya di Turki.

Sarah, yang berasal dari Maarat al-Numan di pedesaan Idlib, dan keluarganya yang terdiri dari enam orang, pindah ke Belanda setelah tinggal di kota Hatay di Turki selatan selama sekitar 7 tahun, yang dianggap sebagai salah satu dari sepuluh kota teratas yang menjadi tuan rumah jumlah pengungsi Suriah terbesar. Mayoritas dari mereka berbicara bahasa Arab dan berasal dari Suriah. Hal ini membuat suasana Ramadhan di kota tersebut mirip dengan ritual di Suriah.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement