ZIONIS Israel seperti menutup mata dan telinga dengan tekanan dunia internasional agar menghentikan serangan ke Rafah. Pada saat bersamaan, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya juga menutup mata dan telinga dengan menilai apa yang terjadi di Rafah masih biasa saja. Dalam bahasa Presiden AS Joe Biden, negara zionis tersebut belum melewati red line alias garis merah.
AS masih menampik semua kondisi yang terjadi di Rafah akibat agresi militer yang dilakukan pasukan Isarael. Saat puluhan warga Palestina tidak hanya dibunuh tetapi juga dibakar hidup-hidup, dipenggal, dan menjadi cacat dalam serangan terhadap kamp pengungsi di tepi Rafah.
"Tidak ada kata-kata lagi... kami melihat gambar anak-anak hancur berkeping-keping, terbakar hingga garing, dan saya minta maaf karena terlalu gamblang, tetapi itulah yang kami lihat," tutur Bushra Khalidi dari Oxfam seperti dikutip Skynews.
Tragedi ini ditanggapi AS dengan menggunakan istilah Api dan bukan karena pengeboman yang dilakukan Israel. Statmen itu disampaikan saat jumpa pers Departemen Luar Negeri hari Selasa. Matthew Miller juga menyebut pembantaian itu “memilukan”, namun dia menghubungkannya dengan “api” dan bukan pemboman Israel. "Dia mengatakan bahwa Washington akan mengikuti penyelidikan Israel dengan cermat," kata Miller seperti dikutip Al Jazeera.
Pernyataan ini mengundang kritik dari pelindung hak asasi Manusia. “Sangat mengecewakan melihat Presiden Biden terus membiarkan Israel beroperasi dengan impunitas. Mengeluarkan garis merah yang Anda tahu tidak akan Anda tindak lanjuti tidak hanya berarti dia akan terus menjadi Genocide Joe, tapi itu juga menunjukkan dia lemah secara politik,” kata Ahmad Abuznaid, direktur Kampanye AS untuk Hak-Hak Palestina (USCPR).
Menagih Janji "Garis Merah Biden"
Bulan lalu ketika tekanan terhadap Israel makin menguat, Presiden Joe Biden menyebut agar Israel tidak melewati apa yang disebutnya dengan "garis merah". Apa itu? Melarang Israel masuk kota Rafah, tempat 1,4 juta warga Palestina ditahan setelah perang selama berbulan-bulan.
“Ini adalah garis merah,” katanya kepada MSNBC ketika ditanya tentang potensi invasi Israel ke Rafah. "Jika mereka masuk ke Rafah, saya tidak akan memasok senjata…untuk mengatasi masalah itu,” sambung Biden dalam kepada CNN.
Saat Biden menyebut red line, ditafsirkan secara luas sebagai momen ketika presiden Amerika tidak lagi akan ditipu oleh Perdana Manteri Israel Benjamin Netanyahu. Faktanya, tentara Netanyahu memasuki Rafah. Namun, mereka menghindari pusat kota, sehingga memberikan ruang gerak bagi Biden untuk mengatakan bahwa batasannya tidak dilanggar.
Itu kenapa, Miller menyebut AS tidak dapat “memverifikasi” bahwa kendaraan militer Israel berada di pusat Rafah, meskipun terjadi pertumpahan darah pada hari Minggu dan tank-tank Israel terus bergerak lebih jauh ke Rafah.
“Kami tidak ingin melihat operasi militer besar-besaran terjadi di sana, seperti yang kami lihat terjadi di Khan Younis dan di Kota Gaza. Pada titik ini, kami belum melihat operasi militer sebesar operasi sebelumnya ,” kata Miller.
AS juga sempat memberikan harapan ketika menahan satu pengiriman bom berat ke Israel, dengan alasan perselisihan mengenai Rafah. Para pembela hak asasi manusia menduga Washington pada akhirnya akan mempertimbangkan kembali dukungannya yang tanpa syarat kepada Israel.
Tapi, optimisme itu segera sirna setelah beberapa pejabat AS menekankan dukungan “kuat” kepada Israel dan pemerintahan Biden menyetujui transfer senjata senilai USD1 miliar kepada sekutunya. Israel menerima setidaknya $3,8 miliar bantuan militer AS setiap tahunnya, dan bulan lalu, Biden menandatangani bantuan tambahan sebesar $14 miliar untuk negara tersebut.
Pendukung hak asasi manusia Palestina berpendapat bahwa pemerintahan Biden sedang mendefinisikan ulang apa yang mereka anggap sebagai invasi ke Rafah agar dapat menyangkal bahwa serangan sedang terjadi.
“Israel melanggar hukum humaniter internasional, serta hukum dan kebijakan AS, namun hampir delapan bulan pembantaian di Gaza tampaknya masih belum cukup bagi Biden untuk akhirnya mengambil posisi yang berprinsip dan konsisten dengan menegakkan hukum AS dan segera menangguhkan senjata. ke Israel,” kata Yasmine Taeb, direktur legislatif dan politik untuk kelompok advokasi MPower Change Action seperti dikutip Al Jazeera.
Mohamad Habehh, direktur pengembangan Muslim Amerika untuk Palestina, juga menyebut “garis merah” Biden tidak ada artinya. “Pemerintahan Biden telah gagal meminta pertanggungjawaban Israel sejak Oktober. Kita sekarang berada di bulan kedelapan ini. Dan kami melihat pembantaian baru ini setiap hari,” kata Habehh kepada Al Jazeera.
Center for International Policy (CIP), sebuah lembaga pemikir yang berbasis di AS, memperbarui seruan untuk menahan senjata bagi Israel setelah serangan mematikan pada hari Minggu. “Biden tidak seharusnya menunggu penyelidikan pro forma Israel – dia harus menepati janjinya dan menghentikan senjata sekarang juga,” kata Dylan Williams, wakil presiden CIP untuk urusan pemerintahan, dalam sebuah pernyataan.
Tapi penasihat keamanan nasional Biden, Jake Sullivan, pekan lalu mengatakan bahwa “tidak ada rumus matematis” yang dapat diterapkan ketika garis tersebut telah dilintasi. “Yang akan kita lihat adalah apakah banyak korban jiwa dan kerusakan akibat operasi ini atau lebih tepat dan proporsional,” kata Sullivan dari podium Gedung Putih.
(Maruf El Rumi)