JELANG peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30S PKI, Pemerintah Amerika Serikat dalam situasi ketar-ketir. Amerika cemas Indonesia akan jatuh ke tangan kaum komunis.
Gejalanya telah terlihat dan semakin jelas. Dari Washington, pemerintah Paman Sam melihat kekuatan orang-orang PKI di Indonesia kian membesar. Mereka secara militan tidak berhenti berunjuk rasa dengan Kantor kedutaan Amerika Serikat sebagai sasaran utama.
Massa Pemuda Rakyat, SOBSI, Lekra dan BTI yang beringas tidak berhenti melantangkan isu anti imperialisme, anti nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme).
Sementara Presiden Soekarno atau Bung Karno dinilai terkesan memilih tutup mata, termasuk menyokong keluarnya ancaman nasionalisasi aset-aset asing di Indonesia.
Laporan intelijen tingkat tinggi pada awal September 1965 menyebut Indonesia kurang selangkah lagi menjadi negeri komunis. Setidaknya kurang 2-3 tahun lagi, PKI akan mendominasi.
“Indonesia di bawah Soekarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara komunis dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri komunis,” demikian dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal.
Bagi kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat, Indonesia adalah faktor penting. Pasca Perang Dunia II yang disusul perang dingin antara blok barat (kapitalis) dan blok timur (komunis), Indonesia dipandang sebagai domino terbesar di Asia Tenggara.